Tinjauan Perkembangan Teknologi Hankam Abad ke-21: Alutsista, Perang Modern, dan Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi pada abad ke-21 turut menjangkau sektor militer. Aneka sistem persenjataan, navigasi, hingga komunikasi militer turut mengalami kemajuan signifikan, termasuk dalam konsep peperangan modern. Sejauh manakah perkembangan teknologi mempengaruhi sektor ini?
Abad ke-21 ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, termasuk dalam sektor pertahanan dan keamanan. Akibatnya, isu-isu yang berkaitan dengan sektor tersebut turut terpengaruh — bahkan beberapa di antaranya mendapat pengaruh sangat signifikan. Perang dan konflik merupakan salah satu isu pertahanan dan keamanan yang mendapat pengaruh luas dari teknologi. Tulisan ini membahas bagaimana teknologi modern mempengaruhi perang kontemporer dan menjadi pembeda dari perang di era sebelumnya. Selain itu, akan dibahas pula beberapa fitur teknologi modern yang kini jamak digunakan sebagai prasarana peperangan kontemporer.
Stephen Biddle dalam Military Power: Explaining Victory and Defeat in Modern Battle (2004) menggarisbawahi pentingnya perkembangan teknologi dalam peperangan modern. Peperangan klasik — melibatkan banyak pasukan yang saling berhadapan, pertahanan fisik berlapis, hingga aneka formasi perang tetap — semakin tak efektif dan boros biaya. Seiring perkembangan zaman dan berbagai penemuan teknologi modern, peperangan turut mengalami perubahan yang drastis. Peperangan tak lagi melibatkan banyak pasukan; negara semakin selektif dalam menerjunkan pasukan. Dengan jumlah pasukan yang minimal namun efektif berkat dukungan teknologi, peperangan menjadi semakin efisien dan taktis, serta dapat diakhiri dalam waktu singkat. Setidaknya, teknologi mengubah peperangan modern pada tiga aspek: berkurangnya ekspos terhadap pasukan militer, semakin terlibatnya aktor nonnegara dalam peperangan, serta peningkatan daya hancur, ketepatan, dan jangkauan — baik deteksi maupun serangan — yang dilakukan oleh aktor peperangan terhadap musuh.
Pengembangan teknologi antiradar dan antideteksi sejak Perang Dingin dan diterapkan secara luas pada abad ke-21 membuat pasukan militer tak lagi mudah terekspos. Apabila dikombinasikan dengan pemanfaatan komponen geografis seperti perbukitan, hutan, dan perairan, akan tercipta kondisi defensif yang baik untuk melindungi pasukan satu pihak dari serangan musuh. Sebagai contoh, pesawat pengebom B-2 Amerika Serikat dengan teknologi antiradar, berhasil menembus pertahanan musuh dan melakukan pengeboman, di antaranya dalam petempuran di Kosovo pada 1999–2000 menghadapi Serbia. Dalam pertempuran di Suriah pada 2016, AS juga menerjunkan sejumlah besar pesawat tempur “siluman” F-22 dan berhasil menembus deteksi radar Suriah. Berbagai arsitektur desain kendaraan tempur lainnya juga dikembangkan pada abas ini, menciptakan desain yang mampu mengecoh radar serta persenjataan musuh — sebagai contoh, desain tank yang memiliki pola-pola tertentu dan desain kapal modern.
Perkembangan teknologi modern pada abad ke-21 juga menyebabkan semakin banyaknya aktor yang terlibat dalam perang. Perang tak lagi diartikan sekadar kondisi yang mempertemukan dua atau lebih pasukan militer suatu negara, namun perang dapat dilakukan bahkan oleh segelintir orang dengan bantuan teknologi informasi. Organisasi-organisasi nonnegara telah jamak menggunakan berbagai aspek teknologi informasi dalam operasi transnasionalisme mereka; sebagai contoh, organisasi terorisme. Telah jamak laporan di berbagai negara mengenai terorisme siber yang dilakukan oleh peretas-peretas berbagai organisasi nonnegara dengan tujuan tertentu. Hal ini menjadi basis argumen bahwa kemajuan dan kemudahan akses terhadap teknologi informasi memungkinkan setiap orang menjadi aktor yang terlibat dalam peperangan. Peperangan tak lagi menjadi ajang “saling bunuh”; keamanan siber — terkait pula dengan berkembangnya kecerdasan buatan (artificial intelligence) — telah mengubah definisi perang secara drastis. Dengan jumlah korban jiwa yang demikian minim — dibanding peperangan era klasik — namun, kerugian yang harus ditanggung oleh aktor tertentu akibat serangan siber tak kalah besar dibanding serangan konvensional.
Aspek terakhir, peningkatan daya hancur dan jangkauan deteksi peralatan militer juga menjadi faktor penting dalam perkembangan peperangan modern. Berbagai alutsista canggih, seperti bom pintar, peluru kendali jelajah berbasis satelit, hingga kapal induk bertenaga nuklir menjadi bukti bahwa daya hancur suatu negara semakin masif. Peluru kendali jelajah misalnya, dapat dikombinasikan dengan hulu ledak nuklir dan mampu menjangkau target sejauh ribuan kilometer. Pun, alutsista tersebut dapat diluncurkan dengan berbagai sarana, mulai dari pesawat tempur hingga kapal selam nuklir, meningkatkan daya gentar negara penggunanya secara signifikan. Bom pintar sendiri juga telah digunakan secara masif oleh AS sejak Invasi ke Irak dengan tujuan menghancurkan target-target strategis — memiliki ketepatan yang jauh lebih baik dibanding bom konvensional, beberapa di antaranya memiliki daya hancur yang luar biasa dan mampu menembus bungker pertahanan musuh. Peningkatan kapabilitas ofensif alutsista seiring dengan perkembangan teknologi militer sejalan dengan perkembangan sistem pertahanan yang semakin canggih. Kedua aspek krusial dalam peperangan tersebut terus dikembangkan secara paralel.
Sementara itu, penggunaan kecerdasan buatan menjadi isu yang patut digarisbawahi dalam perkembangan teknologi militer abad ini. Kecerdasan buatan memungkinkan aktor melakukan berbagai tindakan, baik ofensif maupun defensif dalam peperangan — secara otomatis dan dengan kuantitas sumber daya yang efisien. Secara ofensif, pengembangan kecerdasan buatan dapat bermuara pada produksi senjata pembunuh otonom, seperti pesawat tempur nirawak (drone) hingga peluncur rudal mandiri. Senjata-senjata tersebut mampu mengenali targetnya secara mandiri dengan basis data-data yang telah diproses oleh komputer. Hingga kini, perdebatan mengenai penggunaan senjata pembunuh otonom — secara populer kerap disebut killer robots — masih terus diperdebatkan, terutama terkait dengan prinsip kemanusiaan dalam penggunaan senjata tersebut. Secara defensif, basis data dalam kecerdasan buatan pula mampu membantu aktor-aktor untuk mengenali musuhnya dan melakukan ‘serangan antisipasi’ (pre-emptive strike) guna mencegah adanya serangan musuh.
Meskipun teknologi canggih pada abad ini — dalam beberapa hal — telah mengubah sistem dan definisi peperangan modern secara drastis, namun bukan berarti konsep dan doktrin peperangan konvensional telah lenyap. Hingga kini, masih banyak terjadi peperangan konvensional dengan taktik yang barangkali tak jauh berbeda dari era Perang Dingin. Namun, penggunaan teknologi yang dapat dikombinasikan dengan taktik konvensional telah membuat perang menjadi lebih efisien dan menghasilkan dampak yang lebih masif.
Referensi
Stephen Biddle, “The Modern System, Preponderance, and Changing Technology,” dalam Military Power, Explaining Victory and Defeat in Modern Battle (Princeton University Press, 2004), 52–77, https://doi.org/10.2307/j.ctt7s19h.8, hlm, 54.
“JDAM continues to be warfighter’s weapon of choice,” 22 Maret 2006, https://web.archive.org/web/20060322232426/http://www.af.mil/news/story.asp?id=123017613.
“US Scrambles Firepower to Defend SDF Against Pro-Assad Forces | Military.com,” diakses 2 April 2020, https://www.military.com/daily-news/2018/02/08/us-scrambles-firepower-defend-sdf-against-pro-assad-forces.html.
Glenn J. Voelz, “The Rise Of iWar:: Identity, Information, and The Individualization Of Modern Warfare” (Strategic Studies Institute, US Army War College, 2015), JSTOR, https://www.jstor.org/stable/resrep11804, hlm. 14–15.
Rudy Guyonneau dan Arnaud Le Dez, “Artificial Intelligence in Digital Warfare: Introducing the Concept of the Cyberteammate,” The Cyber Defense Review 4, no. 2 (2019): 103–16, https://doi.org/10.2307/26843895.
Andrew D. James, “Emerging Technologies and Military Capability” (S. Rajaratnam School of International Studies, 2013), JSTOR, https://www.jstor.org/stable/resrep05804.