Surutnya Militer Afrika Selatan Pasca-Apartheid

Afrika Selatan mengalami jatuh-bangun yang signifikan dalam aspek pertahanan dan keamanan. Disegani sebagai hegemoni regional pada era Apartheid, Militer Afrika Selatan lambat laun mengalami deklinasi sejak demokrasi diterapkan di negara tersebut. Karut-marut ini terjadi pada baik aspek teknis maupun sumber daya manusia.

Alfin Febrian Basundoro
10 min readFeb 3, 2021
Parade Militer dalam Perayaan Hari Nasional Afrika Selatan

Angkatan Pertahanan Nasional Afrika Selatan alias South African National Defence Forces (SANDF) merupakan nama resmi dari satuan militer nasional di negara yang terletak di ujung selatan Benua Afrika ini. Laiknya kebanyakan satuan militer di seluruh negara di dunia, SANDF memiliki tugas pokok untuk mempertahankan kedaulatan Afrika Selatan dan menjamin keamanan negara tersebut dari segala ancaman (van Stade, 1997). Meski demikian, sulit untuk membayangkan SANDF sekadar sebagai pasukan keamanan saja. Satuan militer tersebut adalah alat politik dan aktor yang turut berkecimpung dalam berbagai peristiwa bersejarah Afrika Selatan, bahkan terlibat dalam pembentukan tatanan politik negara tersebut. Jatuh-bangunnya SANDF pula dipandang oleh banyak pihak turut mempengaruhi tatanan regional Afrika Sub-Sahara sekaligus kekuatan politik dari Afrika Selatan sendiri (Wessels, 2010).

Analisis ini berusaha memaparkan dinamika SANDF dalam beberapa pendekatan; pertama adalah lintasan sejarah dari satuan militer ini; kedua, adalah kejatuhan SANDF pasca-Apartheid dalam sudut pandang teknis dan politis; dan ketiga, adalah pengaruh dari kejatuhan SANDF secara regional. Sumber analisis ini akan didominasi oleh beberapa literatur, yakni South African Post-Apartheid Military karya Lindy Heinecken (2019); The South African National Defence Force, 1994–2009 oleh André Wessels (2010); dan karya lain yang lebih lawas, semacam Fighting for a Future: The South African Military in a Democratic South Africa oleh Guy Lamb (2004). Seluruh literatur tersebut menyimpulkan satu hal: terjadi karut-marut — baik secara struktural maupun teknis dalam SANDF — menyebabkan sektor pertahanan dan keamanan di Afrika Selatan mengalami krisis.

Militer Afrika Selatan dalam Lintasan Sejarah

Dalam membicarakan sejarah Afrika Selatan — khususnya terkait dengan dinamika SANDF, praktis era Apartheid tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Peristiwa yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun tersebut menjadi periode tersendiri bagi sejarah politik di Afrika Selatan, di mana melibatkan unsur kemiliteran di dalamnya. SANDF yang dahulu bernama SADF (South African Defence Forces) dibentuk atas dasar Peraturan Pertahanan Nomor 44 Tahun 1957 yang memproyeksikan pasukan pertahanan nasional yang profesional dan ekstensif, dan berkelanjutan. Sebelumnya, Afrika Selatan hanya memiliki satuan-satuan kecil dalam bentuk Union Defence Forces (UDF) yang berkiprah dalam Perang Dunia Kedua.

Meski demikian, sebagaimana dicatat oleh Heinecken (2019), pembentukan SADF juga sejatinya tak mulus karena banyaknya tendensi politik yang ingin memanfaatkan SADF dari kelompok-kelompok politik di negara tersebut, khususnya antara kalangan Afrikaner konservatif dan kalangan liberal yang lebih moderat dalam urusan pertahanan. Salah satu perdebatannya, adalah apakah SADF akan tetap mengikuti sistem kemiliteran Britania Raya yang telah menjadi acuan resmi sejak Perang Dunia Pertama atau memebentuk pakem sendiri yang dilandasi oleh nilai-nilai politik Afrikaner. Perdebatan tersebut terjadi seiringan dengan kontestasi politik antara dua kelompok politik yang sama-sama memiliki kuasa di Afrika Selatan kala itu. Namun seiring berjalannya waktu, didorong kuat oleh ancaman “rooi gevaar” (bahaya merah) alias komunisme, SADF akhirnya terbentuk menjadi satuan militer yang sebagaimana mestinya (Jacobs, 2006).

Puncak kejayaan dari SADF sendiri berada pada periode 1970–1980-an, kala pemerintahan John Vorster dan Pieter Botha. Keduanya menerapkan politik luar negeri yang ekspansionis, di mana Afrika Selatan sempat menerjunkan pasukan militernya ke berbagai palagan pertempuran regional. Momentum utama dari tindakan kedua pemimpin tersebut adalah Perang Sipil Angola yang pecah tahun 1975, di mana Afrika Barat Daya (Namibia kini) yang merupakan bagian dari Afrika Selatan kala itu menjadi titik panas pertempuran (Heinecken, 2019, hlm. 9–10). Pasukan Gerilyawan Kemerdekaan Afrika Barat Daya (SWAPO) yang didukung Pemerintah Angola yang komunis (MPLA), Kuba, dan Uni Soviet menjadi ancaman terbesar bagi keamanan nasional Afrika Selatan. Selain itu, bubarnya Rhodesia yang digantikan dengan negara kulit hitam bernama Zimbabwe menyisakan Afrika Selatan sebagai satu-satunya negara kulit putih di Afrika. Ditambah, gerilyawan-gerilyawan uMkhonto weSizwe (MK) yang merupakan milisi Partai Nasional Afrika (ANC) terus-menerus memberikan ancaman keamanan secara internal.

Personel SADF di Angola

Menurut catatan Stott (2002), pada tahun 1980, SADF memiliki total lebih dari 80.000 pasukan aktif dan sekitar 30.000 pasukan cadangan. Jumlah tersebut belum termasuk ratusan ribu pasukan wajib militer yang dikerahkan pada periode “militerisasi masyarakat” yang berlangsung pada 1975 hingga 1985. Kendati Afrika Selatan dijatuhi embargo militer secara global akibat pelaksanaan kebijakan Apartheid dan kekerasan yang mengiringinya, negara ini memiliki industri militer yang demikian majunya, hingga dapat dikatakan bersaing dengan Israel atau Prancis. Betapa tidak, dalam periode tersebut, Afrika Selatan telah berhasil memproduksi pesawat tempur, rudal, bom, dan aneka kendaraan lapis baja di bawah naungan korporasi Armscor (Joseph, 1990). Bahkan, Afrika Selatan pula mampu mengembangkan senjata nuklirnya sendiri meskipun tidak pernah tercatat melakukan pengujian. Negara ini menjelma menjadi kekuatan regional secara militer di tengah aneka kontroversi yang melingkupinya.

Kemunduran SADF mulai tampak pada awal 1990-an, ketika terjadi peningkatan gerakan perlawanan terhadap Apartheid. Pada titik ini, jelas terlihat bahwa Afrika Selatan mengalami penurunan pengaruh dan nilai tawar, apalagi setelah ditarik mundurnya pasukan SADF dari Angola dan Mozambik (Heinecken, 2019). Ketika Apartheid bubar tahun 1994, Upaya reintegrasi masyarakat Afrika Selatan seiring berjalannya waktu agaknya secara masif menggerus performa SANDF dari segala lini. Kini, Afrika Selatan tak lagi menjadi salah satu negara dengan militer terkuat di Afrika, meskipun masih memiliki industri militer yang cukup independen. Secara bersamaan, praktis nilai tawar Afrika Selatan sebagai hegemon regional berada pada titik nadir, apalagi setelah banyaknya negara-negara Afrika yang mulai berkembang secara ekonomi dan geopolitik.

Transformasi yang Tak Sempurna

Kemunduran militer Afrika Selatan diduga kuat terjadi karena dua hal. Pertama, adalah transformasi militer yang tidak sempurna dan terkesan dipaksakan. Betapa tidak, setelah Apartheid bubar, pemerintahan baru Afrika Selatan berupaya untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat dari berbagai ras dan etnis. Namun, upaya tersebut tidak semudah itu diterapkan dalam ranah militer. Pasalnya, SADF sendiri sebelumnya didominasi oleh prajurit kulit putih, sementara kebijakan integrasi mengharuskan dilibatkannya masyarakat kulit hitam dalam militer (Shaw, 1994 dalam Heinecken, 2019) di mana kedua pihak tersebut saling berhadapan dalam posisi yang konfliktual hanya beberapa tahun sebelumnya. Ditambah lagi, mayoritas masyarakat kulit hitam yang bergabung dalam militer adalah bekas anggota aneka milisi yang tidak hanya merupakan musuh utama SADF, melainkan juga tak pernah memperoleh pelatihan militer formal. SANDF, yang berdiri semalam setelah pemerintahan baru terbentuk harus menghadapi masalah kronis tersebut.

Tentu itu bukanlah situasi yang ideal, karena etnisisme dapat memecah belah kesatuan dalam militer yang sangat krusial untuk membentuk moral prajurit. Pelatihan militer dari segala aspek — mulai dari latihan dasar hingga sistem akademi militer untuk perwira — menjadi kacau, karena banyaknya anggota baru yang berasal dari berbagai macam kesatuan milisi, yang tentunya memiliki aturan dan strategi militer yang berbeda-beda. Situasi yang kompleks ini menjadi bom waktu, karena banyaknya desersi dan infeketivitas di tengah-tengah reorganisasi militer Afrika Selatan. Sebagai contoh, sepanjang 1995–2000, tercatat bahwa berulang kali terjadi eksklusi prajurit kulit putih bekas SADF terhadap komandan mereka yang kulit hitam dan merupakan bekas anggota kelompok milisi. Selain itu, jumlah anggota militer ternyata membengkak hingga mencapai 500.000 (Stott, 2002).

Tidak hanya soal etnisisme dalam lingkup personelnya, kebingungan akan identitas dan doktrin kemiliteran menjadi penghambat lain dalam perkembangan militer Afrika Selatan. SADF yang menjadi alat ekspansi geopolitik Afrika Selatan era Apartheid identik dengan doktrin militer yang agresif dan mengedepankan pertempuran total (total warfare), didukung dengan aneka operasi militer di luar negeri untuk melawan militer negara lain. Di sisi lain, SANDF terbentuk ketika dunia menjadi semakin damai pasca-Perang Dingin, sementara Afrika Selatan tak lagi memiliki musuh politik yang signifikan. Praktis, peran militer Afrika Selatan sebagai alat peperangan eksternal menjadi minimal, bahkan lenyap (Esterhuyse, 2016). Problematika inilah yang kemudian membuat para petinggi SANDF harus merancang ulang doktrin dan strategi militernya — berfokus pada keamanan dalam negeri, perbatasan, kontraterorisme, dan perdamaian dunia dalam bentuk misi perdamaian (Departemen Pertahanan Afrika Selatan, 1996). Namun, karena konsepnya yang agak “wagu” dan panjangnya proses penyesuaian, transformasi ini baru benar-benar terselesaikan pada medio 2000-an.

Isu Alutsista, Jumlah Personel, dan Anggaran

Secara teknis, surutnya kekuatan militer Afrika Selatan ditengarai terjadi karena tiga isu di atas. Sebagaimana disebutkan, jumlah personel SANDF pada awalnya mencapai 500.000, padahal idealnya, SANDF hanya membutuhkan tak lebih dari 95.000 personel seiring dengan perubahan doktrin dan strategi. Menurut catatan Wessels (2010), sejak 1994, SANDF terus melakukan perampingan personel hingga tercapai jumlah yang dirasa ideal, yakni sekitar 75.000 personel inti dan 15.000 personel cadangan pada 2009.

Dalam upaya perampingan tersebut, dilaksanakan juga pembentukan sistem regenerasi dan kaderisasi yang baru, yakni Flexible Service System (FSS) sejak 1998. Di dalamnya, terdapat sejumlah pengelompokan pasukan SANDF berdasarkan peran, kesiapan penerjunan, dan usianya — Long-Term Service System (LTS), Medium-Term Service System (MTS), dan Short-Term Service System (STS). Idealnya, STS berjumlah lebih banyak, karena merupakan satuan yang dapat segera diterjunkan dalam waktu singkat. Usia personelnya biasanya lebih muda dan memiliki moral tempur yang lebih tinggi dengan komposisi 40% STS, 40% MTS, dan 20% STS (Heinecken, 2019).

Meski demikian, dalam perkembangannya, pasukan yang lebih tua dan tidak memiliki kesiapan penerjunan yang baik dalam LTS ternyata lebih banyak jumlahnya, yakni mencapai lebih dari 40%— lagi-lagi didominasi oleh milisi-milisi tua angkatan era Apartheid. Hal ini terjadi karena minimnya pemasukan personel baru dari rekrutmen, terutama yang berusia di bawah 25 tahun (Wessels, 2010). Pada sumber yang sama, disebutkan pula bahwa jumlah pilot pesawat tempur di Afrika Selatan menurun drastis hingga tersisa 20 orang pada 2008, sementara jumlah teknisi angkatan udara (SAAF) mengalami kemerosotan sebesar lebih dari 60%. Praktis, peremajaan SANDF juga menjadi sorotan tersendiri bagi sejumlah peneliti pertahanan Afrika Selatan.

Formasi Armada Angkatan Laut Afrika Selatan

Aspek alutsista juga menjadi persoalan bagi SANDF, karena sejak Apartheid bubar, modernisasi alutsista menjadi sangat terhambat. Menurut catatan IISS (2020), sejak berdirinya, SANDF sendiri baru mengalami dua kali modernisasi besar, yakni pada 1998 dan 2008. Pada periode pertama, dilaksanakan modernisasi tank tempur utama Olifant oleh Armscor — yang juga telah mengalami penurunan, baik dari segi kuantitas produksi maupun kualitas produknya. Pada periode berikutnya, dilaksanakan pembelian empat kapal perang MEKO A200 dan tiga kapal selam Tipe 209 dari Jerman. Modernisasi tahun 2008 juga diarahkan untuk membeli pesawat tempur, yakni 26 unit JAS 39 Gripen dan puluhan unit BAe Hawk.

Data dari Military Balance 2020 yang disusun oleh IISS menyatakan bahwa pada 2020, SANDF memiliki sejumlah alutsista di antaranya sebagai berikut;(1) 64 unit tank tempur utama Olifant MK1 dan MK2; (2) sekitar 520 unit kendaraan tempur infantri Rooikat — tercatat hanya 20% yang siap pakai; (3) 43 unit artileri swagerak GV6; (4) 26 unit JAS 39 Gripen; dan (5) 40 unit kapal perang di Angkatan Laut Afrika Selatan. Jumlah tersebut memprihatinkan apabila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, ketika militer Afrika Selatan secara rutin dimodernisasi dan ditingkatkan kuantitas alutsistanya, terutama oleh industri pertahanan domestik yang memang sangat berkembang kala itu (Louw, 2013). Apalagi, banyak di antara alutsista tersebut yang tidak mencapai tingkat kesiapan minimal untuk digunakan dalam operasi perang.

Tank Olifant MK2. Pada 2019, hanya 24 unit dari tank ini yang layak operasi.

Akar dari seluruh permasalahan di atas tak lain adalah manajemen anggaran pertahanan yang sangat inefisien. Seiring berjalannya waktu, dengan perampingan jumlah personel, anggaran pertahanan Afrika Selatan juga menyusut. Pasalnya, penurunan anggaran tersebut tidak diikuti dengan efektivitas penggunaan anggaran. Misalnya saja, pada 2018, anggaran pertahanan Afrika Selatan hanya mencapai US$ 3,54 miliar atau 14,2 miliar Rand (1,2% dari PDB Afrika Selatan) dan trennya terus menurun sejak lebih dari satu dasawarsa lalu. Lebih dari 60% anggaran militer tersebut digunakan untuk pendanaan personel — yakni gaji personel, pelatihan, dan fasilitas lainnya (Heinecken, 2019). Hanya 20% anggaran yang digunakan untuk modernisasi alutsista dan pengembangan industri pertahanan. Alhasil, tak heran manakala profesi tentara di negara tersebut identik dengan stagnasi — akar dari minimnya regenerasi personel SANDF.

Epilog: Peran Militer Afrika Selatan di Simpang Jalan

Dengan kualitas dan peran militer yang menurun, Afrika Selatan tidak lagi menjadi kekuatan regional yang utama di Afrika. Apalagi, tidak ada lagi situasi yang membutuhkan pengembangan militer yang ekspansif — ditanggapi oleh Pemerintah Afrika Selatan sebagai ajang untuk menghentikan secara signifikan pengembangan SANDF. Di antara negara-negara yang kerap disebut sebagai “kekuatan tengah” (middle power), kekuatan militer Afrika Selatan dapat dikatakan paling rendah. Meski demikian, dengan perubahan drastis politik global sejak Perang Dingin, SANDF juga memiliki peran penting dalam operasi militer selain perang, terkhusus operasi perdamaian — mencitrakan Afrika Selatan sebagai negara cinta damai. Afrika Selatan telah menerjunkan lebih dari 5.000 personel militer dalam misi perdamaian dan penanganan bencana, baik secara independen maupun dalam payung Pasukan Perdamaian PBB (Heinecken, 2019).

Pasukan PBB dari Afrika Selatan

Tentunya, itu saja tidak cukup sebagi penjamin keamanan nasional. Politik global sangat dinamis, di mana perilaku aktor-aktor negara akan semakin tidak dapat terprediksi. Pemerintah Afrika Selatan perlu mengembangkan strategi lanjutan demi keamanan nasional yang lebih baik, seiring dengan aneka kekarut-marutan SANDF, secara struktur maupun teknis. Perencanaan smart military misalnya, dapat menjadi alternatif utama — dengan jumlah pasukan yang efisien, alutsista yang modern, industri pertahanan yang maju, dan regenerasi yang berlangsung secara kontinu. Apabila strategi tersebut terus dikembangkan, Afrika Selatan tidak hanya menjadi pemain utama secara regional sebagai kekuatan yang disegani, namun juga dapat menjadi model pengembangan militer yang efisien pada waktu mendatang.

Referensi

Friedman, S., & Atkinson, D. (1994). The Small Miracle: South Africa’s Negotiated Settlement. Ravan Press.

Hanlon, Joseph. “Successes and Future Prospects of Sanctions against South Africa.” Review of African Political Economy, no. 47 (1990): 84–95.

Heinecken, L. (2019). South Africa’s Post-Apartheid Military: Lost in Transition and Transformation. Cham: Springer International Publishing. doi: 10.1007/978–3–030–33734–6

Jacobs C.J. (2006). The forward defence strategy of the South African Defence Force (SADF), 1978–1989. Journal for Contemporary History, 31(3), 23–41. doi: 10.10520/EJC28413

Lamb, G. (2004). Fighting for a Future: The South African Military in a Democratic South Africa.

Louw, G. M. (2013). South African Defence Policy and Capability: The Case of the South African National Defence Force. 105.

Rogerson, C. M. “Defending Apartheid: Armscor and the Geography of Military Production in South Africa.” GeoJournal 22, no. 3 (1990): 241–50.

Stott, N. (2002). From the SADF to the SANDF: Safegaurding South Africa for a better life for all? Violence and Transition Series, 7, 88.

The International Institute for Strategic Studies (Ed.). (2020). The Military Balance (Vol. 459). Routledge.

Wessels, A. (2010). THE SOUTH AFRICAN NATIONAL DEFENCE FORCE, 1994–2009: A HISTORICAL PERSPECTIVE. 23.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet

Write a response