Sengketa Laut Tiongkok Selatan dan Modernisasi Militer di Asia Tenggara: Bibit Perlombaan Senjata?

Modernisasi pertahanan di beberapa negara Asia Tenggara buntut dari sengketa di Laut Tiongkok Selatan memunculkan peluang perlombaan senjata regional. Seberapa besar peluangnya?

Alfin Febrian Basundoro
7 min readApr 3, 2020
Kapal induk Tiongkok, Liaoning dan armadanya berlatih di Laut Tiongkok Selatan.

Asia Tenggara sejak dasawarsa 2010-an diwarnai oleh progres stabilisasi, mulai dari semakin berkembangnya perekonomian di beberapa negara pascakrisis moneter Asia 1997–1998, kesepakatan damai yang menandai berakhirnya sejumlah konflik domestik, hingga peningkatan kerja sama regional dan global. ASEAN — organisasi regional di kawasan ini — semakin terlibat dalam perkembangan isu-isu global dengan cakupan yang semakin luas. Tak hanya berkutat pada isu-isu kerja sama ekonomi, ASEAN juga menjadi wadah interaksi regional dalam sektor sosial-budaya, keamanan, dan hak asasi manusia. Dalam beberapa kesempatan, ASEAN bersinergi dengan kekuatan-kekuatan Asia lainnya, seperti India, Tiongkok, dan Jepang — dalam ranah ASEAN Plus demi insentif multisektoral dan kerja sama yang lebih mengglobal.

Progres stabilisasi di Asia Tenggara sejak dasawarsa terakhir agaknya mendapat disrupsi keamanan, terutama akibat sengketa Laut Tiongkok Selatan yang semakin memanas. Tiongkok semakin intens dalam melebarkan kekuatannya, mulai dengan mengirim aneka alutsista maritimnya ke perairan tersebut hingga reklamasi pulau di Kepulauan Spratly yang ditengarai akan menjadi pangkalan militer. Berkali-kali aksi provokatif dilancarkan oleh Negeri Tirai Bambu di Laut Tiongkok Selatan, di mana sebagian di antaranya menimbulkan korban. Beberapa negara Asia Tenggara bereaksi dengan melayangkan protes diplomatik, sebagian lainnya menggunakan metode yang lebih “keras” — mengerahkan kekuatan militernya.

Provokasi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan ditanggapi beberapa negara Asia Tenggara dengan perimbangan kekuatan. Peningkatan anggaran militer negara-negara tersebut belakangan menjadi landasan bahwa terjadi modernisasi sektor pertahanan guna menghadapi Tiongkok. Dalam beberapa sumber, data-data menunjukkan bahwa arus masuk komponen pertahanan fisik ke Asia Tenggara mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir, terutama berasal dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Korea Selatan, dan Rusia. Aliran alutsista yang lebih minim juga terjadi dari India dan Jepang. Tak hanya melakukan impor alutsista, beberapa negara tersebut juga melakukan perimbangan dengan kerja sama — seperti transfer teknologi pertahanan, pembentukan aliansi khusus, hingga latihan bersama.

Peta wilayah Laut Tiongkok Selatan yang disengketakan

Meskipun begitu, dengan semakin gencarnya modernisasi pertahanan di Asia Tenggara, mencuat kemungkinan akan terjadinya perlombaan senjata regional. Dikhawatirkan bahwa usaha perimbangan kekuatan tersebut dapat bermuara pada dilema keamanan dan dapat mengancam relasi dan usaha regionalisme di Asia Tenggara. Tulisan ini akan berfokus untuk menjawab bagaimana peluang terjadinya perlombaan senjata antarnegara Asia Tenggara dan apa tindakan yang perlu dilakukan untuk menjauhkan situasi demikian di kawasan ini. Selain itu, fokus analisis tulisan ini diarahkan pada tiga negara: Malaysia, Filipina, dan Vietnam; dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ketiganya terlibat aktif dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan dalam beberapa tahun belakangan. Kedua, ketiga negara tersebut merupakan kekuatan utama di Asia Tenggara secara militer. Ketiga, terjadi kenaikan anggaran militer yang cukup signifikan di ketiga negara, sebagai indikasi terjadinya perimbangan dan modernisasi sektor pertahanan.

Modernisasi pertahanan yang dilakukan oleh Malaysia terkait sengketa Laut Tiongkok Selatan dimulai sejak lima tahun terakhir. Meskipun mengalami fluktuasi, anggaran pertahanan Negeri Jiran tercatat konsisten pada level US$3,6 miliar hingga US$ 4 miliar dalam periode ini. Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pada 2014–2018, 47% anggaran tersebut dialokasikan untuk modernisasi Tentera Udara Diraja Malaysia (AU Malaysia), dengan pesawat-pesawat baru — di antaranya empat Airbus A-400M. Tercatat, Malaysia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memiliki pesawat tersebut. Selain itu, Malaysia fokus membenahi sektor pertahanan maritim dengan pembelian empat fregat kelas Maharaja Lela dan sejumlah helikopter maritim, di antaranya AgustaWestland AW159. Sejauh ini, Malaysia masih bergantung pada suplai alutsista Barat dalam usaha modernisasi sektor pertahanannya.

Vietnam — memiliki sejarah konflik yang panjang dengan Tiongkok — menjadi salah satu negara paling agresif dalam melakukan perimbangan kekuatan akibat sengketa tersebut dengan kenaikan anggaran paling signifikan. Pada periode 2009 hingga 2018, Vietnam mengalami kenaikan anggaran hingga 209% — dengan anggaran terbarunya mencapai US$5,4 miliar (2019). Secara tradisional, Uni Soviet — dan suksesornya, Rusia — merupakan penyuplai utama pertahanan Vietnam sejak era Perang Dingin. Baru-baru ini, Rusia menyepakati penjualan enam kapal selam kelas Kilo sebagai bagian dari modernisasi AL negara tersebut — menghabiskan 43% anggaran militernya pada tahun fiskal 2017–2018. Pada tahun yang sama, Vietnam juga membeli sejumlah kapal fregat dan peluru kendali senilai lebih dari US$1 miliar dari Rusia pada tahun. Tak lupa, Sukhoi Su-30 menjadi kekuatan ofensif terbaru Vietnam.

Meskipun masih mengandalkan alutsista buatan Rusia, Vietnam mulai melakukan diversifikasi dan independensi suplai pertahanan nasional. Sejak 2000-an, Vietnam mulai mendekati sejumlah negara Barat — semisal Israel dan negara-negara Eropa guna modernisasi pertahanan. Usaha Vietnam mendekati Amerika Serikat baru mencapai tahap perencanaan, mengingat penangguhan perdagangan alutsista kedua negara baru diangkat pada 2015. Industri pertahanan juga menjadi fokus negara tersebut dalam usaha modernisasi, di mana hingga kini, telah beroperasi tujuh perusahaan pertahanan dengan produk yang mencakup alutsista ringan, amunisi, hingga sarana komunikasi pertahanan.

Filipina menjadi negara dengan perkembangan anggaran pertahanan paling minim di antara ketiganya, dengan kenaikan rerata anggaran sebesar 7,98% dalam lima tahun terakhir. Anggaran pertahanan negara pimpinan Rodrigo Duterte ini tercatat oleh IISS hanya US$2,79 miliar pada 2018. Meskipun begitu, Filipina sedang gencar membangun angkatan udara dan lautnya, di mana pada 2016, Filipina dan Korea Selatan menyepakati pembelian dua kapal fregat kelas Jose Rizal. Dari negara yang sama, Filipina juga membeli sejumlah jet tempur ringan T-50 Golden Eagle pada 2017. Selain itu, Filipina terikat perjanjian pangkalan militer pertama dengan Amerika Serikat yang seara otomatis melegitimasi kehadiran militer AS di negara tersebut — bagian dari “perimbangan seberang lautan” AS terhadap Tiongkok di Asia Tenggara — selain baru-baru ini, Singapura.

Fregat Jose Rizal, kapal perang terbaru milik Filipina

Dengan analisis di atas, terlihat bahwa usaha perimbangan kekuatan beberapa negara Asia Tenggara sedang gencar-gencarnya dilakukan. Meskipun begitu, agaknya terlalu dini untuk menyatakan bahwa perimbangan kekuatan di Asia Tenggara akan memicu perlombaan senjata regional. Dengan tren yang sama, belum ada indikasi peningkatan kekuatan militer di Asia Tenggara mengarah pada perlombaan senjata, dengan ketiadaan lonjakan anggaran militer secara tiba-tiba. Pertumbuhan anggaran militer negara-negara tersebut masih berada pada batas wajar — mengingat belum ada peperangan fisik yang dihadapi. Peningkatan anggaran yang masih “perlahan namun pasti” juga diikuti dengan proyek pembelian alutsista yang bertahap dan dalam jumlah yang relatif normal.

Agaknya, perimbangan kekuatan yang dilakukan ketiga negara dalam menghadapi sengketa Laut Tiongkok Selatan juga belum mampu mengimbangi Tiongkok. Negeri Tirai Bambu jauh lebih masif dalam memodernisasi sistem pertahanannya, termasuk melakukan tindakan ekspansi ke laut tersebut dengan reklamasi dan pemindahan kekuatan militer. Terdapat belasan pulau dan karang di dua kepulauan — Spratly dan Paracel — yang telah dimiliterisasi oleh Tiongkok. Di samping itu, beberapa negara Asia Tenggara lainnya tidak menunjukkan intensi perlombaan senjata regional dan fokus membangun pertahanan secara ideal. Terlebih, terdapat faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan pertahanan di Asia Tenggara — semisal Thailand yang mengalami kenaikan anggaran pertahanan pascakudeta militer.

Meskipun begitu, terdapat usaha-usaha yang agaknya perlu dilakukan guna mencegah agar modernisasi pertahanan di Asia Tenggara tidak mengalami eskalasi menjadi perlombaan senjata regional. Pertama, adalah peningkatan dialog pertahanan antarnegara dalam payung ASEAN — semisal dengan mempertemukan menteri-menteri pertahanan. Langkah ini dapat meningkatkan keterbukaan negara-negara dalam sektor pertahanan, termasuk alutsista. Kedua, latihan bersama dapat dilakukan lebih intensif, dengan konsep “perlawanan terhadap musuh bersama”. Selain meningkatkan kesiapsiagaan, langkah ini juga mampu menyeragamkan pemahaman negara-negara kawasan mengenai musuh bersama dan kemungkinan aliansi pertahanan regional yang lebih komprehensif. Apalagi, ASEAN pada dasarnya tidak mewadahi kerja sama regional dalam bidang pertahanan. Ketiga, adalah usaha pembentukan aturan regional mengenai pembatasan maksimalisasi kekuatan militer. Selama ini, ASEAN hanya memiliki kesepakatan kawasan bebas nuklir sebagai kebijakan regional yang komprehensif dalam sektor ini.

Referensi

“2020 Malaysia Military Strength.” Diakses 3 April 2020. https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=malaysia.

Gutierrez, Jason, Thomas Gibbons-Neff, dan Eric Schmitt. “Philippines Tells U.S. It Will End Military Cooperation Deal.” The New York Times, 11 Februari 2020, bag. World. https://www.nytimes.com/2020/02/11/world/asia/philippines-united-states-duterte.html.

South China Morning Post. “How Southeast Asia Fell into Russian Arms,” 12 Oktober 2019. https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3032608/russia-guns-why-southeast-asia-buying-arms-moscow-not-washington.

East Asia Forum. “Is Southeast Asia Really in an Arms Race?,” 21 Februari 2018. https://www.eastasiaforum.org/2018/02/21/is-southeast-asia-really-in-an-arms-race/.

Parameswaran, Prashanth. “Malaysia Cuts Military Budget for 2016 Amid Economic Woes.” Diakses 3 April 2020. https://thediplomat.com/2015/10/malaysia-cuts-military-budget-for-2016-amid-economic-woes/.

— — — . “What to Make of Malaysia’s New Defense White Paper Launch.” Diakses 3 April 2020. https://thediplomat.com/2019/12/what-to-make-of-malaysias-new-defense-white-paper/.

“South China Sea: Satellite image shows Chinese fighter jets deployed to contested island — CNN.” Diakses 3 April 2020. https://edition.cnn.com/2019/06/20/asia/china-fighters-satellite-image-woody-island-intl-hnk/index.html.

The Military Balance. International Institute of Strategic Studies, 2019.

Vavasseur, Xavier. “Philippine Navy Frigate BRP Jose Rizal Started Sea Trials in South Korea.” Naval News (blog), 24 November 2019. https://www.navalnews.com/naval-news/2019/11/philippine-navy-frigate-brp-jose-rizal-started-sea-trials-in-south-korea/.

“Vietnam Places Orders for Russian Weapons Worth over $1 Billion: TASS.” Reuters, 8 September 2018. https://www.reuters.com/article/us-vietnam-russia-arms-idUSKCN1LO08K.

Wezeman, Siemon T. “Arms Flows to South East Asia.” Stockholm International Peace Research Institute, t.t., 61.

--

--

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet