Rivalitas Mesir-Turki: Adu Hegemoni Geopolitik Baru di Timur Tengah?
Timur Tengah merupakan kawasan yang volatil dan penuh dengan konflik. Sejumlah kekuatan kunci di kawasan ini melakukan persaingan demi menjadi hegemoni regional. Baru-baru ini, Turki dan Mesir pula terlibat di dalamnya.
Hubungan diplomatik antara dua negara kunci di Timur Tengah — Mesir dan Turki — mengalami kemunduran drastis belakangan. Sejak Presiden Mohammed Morsi dilengserkan oleh Militer Mesir pada 2013 dan digantikan oleh Jenderal Abdel Fattah El-Sisi, kedua negara kerap kali terlibat dalam tindakan provokasi, bahkan adu kekuatan — sekalipun tidak secara frontal. Sejumlah peristiwa penting seperti pengusiran duta besar Turki di Mesir, saling sindir antara pemimpin kedua negara, perbedaan pandangan keduanya atas organisasi Ikhwanul Muslimin, hingga perang proksi di Libya menjadi fitur utama dalam buruknya hubungan kedua negara.
Kondisi tersebut menimbulkan asumsi bahwa kedua negara sedang bergerak ke arah rivalitas geopolitik baru di Timur Tengah. Apalagi, kedua negara telah lama menjadi kekuatan kunci di Timur Tengah, di mana Mesir adalah “powerhouse” bagi Bangsa Arab dengan jumlah penduduk terbesar di Timur Tengah. Nama besar Mesir sebagai kekuatan utama Arab tergambar dari — salah satunya — keterlibatan Mesir dalam Perang Arab-Israel. Di sisi lain, Turki adalah negara industri baru dengan kekuatan ekonomi menjanjikan, didukung dengan aspirasi negara tersebut untuk menjadi hegemon “alternatif” di Timur Tengah — di luar Iran dan Arab Saudi. Turki pula sedang gencar mengirim sejumlah besar pasukan militer ke Suriah, selain sebagai upaya mempertahankan keutuhan wilayahnya, juga sebagai “pesan” bahwa negara tersebut sedang meningkatkan eksistensinya.
Kedua negara sejatinya memiliki hubungan yang rumit — kerap disebut “frienemies” (teman tapi musuh) oleh berbagai sumber. Di satu sisi, keduanya pernah sangat dekat, namun dalam kesempatan lainnya, hubungan kedua negara dapat menjadi sangat buruk — sebagaimana terjadi belakangan. Kedekatan hubungan antara Mesir dan Turki mulai terbentuk sejak pemerintahan Hosni Mubarak. Sang presiden relatif moderat dalam memandang situasi geopolitik di Timur Tengah dan tidak terpengaruh politik ekspansionisme. Alhasil, Mubarak berhasil membawa politik luar negeri Mesir yang “ramah” terhadap seluruh negara di kawasan tersebut, termasuk dengan Turki. Sebelumnya, hubungan kedua negara relatif renggang, terutama ketika Presiden Gamal Abdel Nasser berkuasa. Nasser amat menjunjung ideologi Pan-Arabisme — menginginkan hegemoni Bangsa Arab atas seluruh masyarakat Timur Tengah. Sikap sektarianis tersebut didukung pula oleh kedekatan Mesir dengan Blok Timur kala itu, membuat Turki yang dekat dengan NATO dan menjadi negara poros AS di Timur Tengah mengambil jarak dengan Mesir.
Pada era Mubarak pula, keduanya menyepakati perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian tersebut diterapkan mulai 2007 dan merupakan tonggak kemajuan yang signifikan bagi kedua negara. Ketika Mubarak lengser pada Revolusi Mesir 2011 dan digantikan oleh Mohammed Morsi, keakraban hubungan Mesir-Turki semakin tampak, tak lain karena dekatnya Ikhwanul Muslimin — sebagai organisasi politik berkuasa di Mesir kala itu — dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) yang tak lain merupakan kendaraan politik Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri dan kemudian, Presiden Turki. Apalagi, Erdogan menekankan politik luar negeri yang dekat dengan negara-negara Timur Tengah, alih-alih dengan Eropa. Meski demikian, setelah Morsi dikudeta oleh Militer Mesir pada 2013, kedekatan keduanya buyar dan situasi tersebut bertahan hingga kini.
Politik luar negeri Abdel Fattah El-Sisi menjadi salah satu faktor utama persaingan kedua negara. Pertama, El-Sisi melakukan tekanan hebat terhadap kelompok-kelompok Islamis di Mesir — termasuk Ikhwanul Muslimin. Keretakan hubungan Mesir dengan Hamas — pejuang kemerdekaan Palestina yang Islamis dan didukung pula oleh Turki — juga menjadi bukti. Kedua, El-Sisi menganggap Erdogan dan Turki mengintervensi politik domestik Mesir dengan menganggapnya “diktator” dan “otoriter” serta mengutuk tekanan atas Ikhwanul Muslimin. Selain itu, di bawah El-Sisi, Mesir kerap memberikan dukungan pada pihak yang berseberangan dengan Turki, sebagai contoh, dalam Perang Saudara Libya, El-Sisi secara implisit memberikan dukungan terhadap kubu Khalifa Haftar. Di sisi lain, Turki mendukung kubu Government of National Accord pimpinan Fayez Al-Sarraj.
Osama Mohammed dalam The African Report menyatakan bahwa di Libya, baik Mesir maupun Turki mengirimkan dukungan militer terhadap kubu masing-masing. Mesir mengirimkan jet tempur F-16 untuk melakukan dukungan udara dan sejumlah penasihat militer. Otoritas Mesir berdalih bahwa pengiriman kekuatan militer tersebut merupakan usaha untuk memberantas teroris — terutama ISIS — yang masih bersarang di Libya bagian timur. Di sisi lain, Turki pula menerjunkan kekuatan militernya, berupa drone tempur dan sejumlah penasihat militer. Di samping itu, Turki juga mengerahkan lebih dari 11.000 tentara bayaran — menurut catatan SOHR per Juni 2020 — dari Suriah. Perang proksi ini berpotensi untuk meluas dan mendestabilisasi perbatasan Mesir-Libya — suatu peluang bagi Turki untuk mendisrupsi tatanan geopolitik Mesir.
Tak hanya perang proksi, perimbangan kekuatan yang acap ditemui dalam persaingan geopolitik juga dilakukan kedua negara. Baik Mesir maupun Turki menempati posisi impresif dalam indeks kekuatan militer global. Belanja militer Mesir meningkat tajam dalam lima tahun belakangan, di mana negara tersebut telah mengakuisisi dua kapal induk helikopter kelas Mistral dari Prancis dengan nama Gamal Abdel Nasser dan Anwar El-Sadat. Dengan dua kapal tersebut, Mesir tentunya mampu memproyeksikan kekuatan lautnya dengan jauh lebih luas. Tak hanya melindungi wilayah maritimnya, Mesir mampu menerjunkan kekuatan tempur udara ke wilayah negara lain — termasuk Turki. Tak hanya itu, sejumlah kapal fregat baru dari Prancis dan Italia juga telah dan akan dioperasikan oleh Mesir. Laman Global Firepower mencatat Mesir menduduki peringkat kesembilan negara dengan militer terkuat di dunia, dengan anggaran mencapai US$ 11,2 miliar — meningkat berkali-kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Turki pula mulai meningkatkan pengembangan terhadap industri militernya — sebagai respons peningkatan kekuatan Mesir. Roketsan — pabrikan rudal dan roket negara tersebut — mulai mengembangkan berbagai roket dan rudal jarak jauh multimoda. Pada aspek kekuatan maritim, guna merespons “ancaman eksternal”, Angkatan Laut Turki sebentar lagi akan memiliki kapal induk helikopter TCG Anadolu dan merencanakan kapal induk serupa bernama TCG Trakya. Kapal selam kelas Reis dan sejumlah kapal fregat serbaguna juga sedang dikembangkan, meningkatkan kekuatan dalam arsenal laut Turki. Kendati pengembangan aspek kekuatan udaranya sempat terhambat akibat batalnya pengiriman F-35 dari Amerika Serikat, Turki pantang mundur. Turkish Aerospace Industries (TAI) terus mengembangkan TAI TFX sebagai pesawat tempur generasi terbarunya — amat potensial sebagai alat penggentar menghadapi Mesir.
Menariknya, baik Turki maupun Mesir sebenarnya berafiliasi dengan satu kekuatan hegemonik: Amerika Serikat. Turki merupakan anggota NATO — blok militer Barat yang juga digawangi AS. Sekalipun kerap terdisrupsi dengan “kebijakan dua kaki” ala rezim Erdogan, hubungan Turki-AS dapat dikatakan baik-baik saja. Spekulasi berbagai sumber bahkan menyebutkan bahwa Presiden Donald Trump memberikan lampu hijau kepada Turki untuk menyerang Suriah bagian utara pada Oktober 2019, ditandai dengan penarikan pasukan Amerika Serikat dari lokasi tersebut. Mesir pula sejatinya dekat dengan Amerika Serikat, di mana sejak 1989, Mesir menjadi sekutu utama non-NATO Negeri Paman Sam. Mesir juga memperoleh lebih dari US$ 1,3 miliar bantuan militer dari AS setiap tahunnya, sebagai kompensasi pengamanan atas Terusan Suez yang merupakan titik cekik (chokepoint) penting yang menjadi jalur berbagai kapal migas tujuan AS dari Timur Tengah. Tak menutup kemungkinan bahwa seiring meningkatnya persaingan, kedua negara akan berusaha mendekati Amerika Serikat guna meningkatkan leverage position masing-masing — di masa mendatang.
Aspek sumber daya alam juga menjadi pemantik persaingan kedua negara, terutama pasca ditemukannya sejumlah ladang minyak dan gas alam di kawasan timur Mediterania. Ditengarai bahwa kebijakan luar negeri Mesir dan Turki yang kian ekspansionis berkaitan erat dengan penguasaan ladang-ladang migas tersebut. Apabila salah satu dari keduanya dapat menguasai ladang-ladang migas di Mediterania timur, suplai energi yang melimpah akan menjadi ganjarannya. Tensi geopolitik akan semakin rumit, mengingat ladang migas tersebut juga diperebutkan oleh sejumlah negara, seperti Israel, Lebanon, dan Yunani.
Rivalitas antara Mesir dan Turki dalam beberapa tahun belakangan menjadi fitur baru dalam dinamika geopolitik di Timur Tengah. Didukung dengan populasi yang besar, politik luar negeri yang ekspansif, serta perimbangan kekuatan militer. Sebagai negara kunci di kawasan Timur Tengah, baik Mesir maupun Turki memiliki modal besar untuk mempertahankan situasi rivalitas, sebagaimana yang terjadi antara Arab Saudi dan Iran —musuh bebuyutan klasik di kawasan tersebut. Tidak menutup kemungkinan pula apabila akan terjadi keterlibatan kekuatan mayor dunia (great powers) dalam rivalitas ini. Apalagi, baik Rusia maupun AS dan sejumlah negara Eropa telah memandang tensi antara Mesir dan Turki secara strategis.
Referensi
“2020 Egypt Military Strength.” Diakses 9 Juli 2020. https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=egypt.
“Comparison Results (Egypt vs Turkey).” Diakses 9 Juli 2020. https://www.globalfirepower.com/countries-comparison-detail.asp?form=form&country1=egypt&country2=turkey&Submit=COMPARE.
The Africa Report.com. “Egyptian Dilemma in Libya Increases as GNA Advances,” 15 Juni 2020. https://www.theafricareport.com/29972/egyptian-dilemma-in-libya-increases-as-gna-advances/.
“Egypt’s el-Sisi orders army to be ready for missions abroad.” Diakses 9 Juli 2020. https://www.aljazeera.com/news/2020/06/egypt-el-sisi-orders-army-ready-missions-200620153149555.html.
“Egypt-Turkey Strained Relations: Implications for Regional Security.” Diakses 9 Juli 2020. http://arabcenterdc.org/policy_analyses/egypt-turkey-strained-relations-implications-for-regional-security/.
Mikhail, George. “Egypt Boosts Navy amid Turkish Threats in the Region.” Al-Monitor, 1 Juli 2020. https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2020/06/egypt-russia-italy-arms-navy-turkey-threats-region-libya.html.
“Turkey and Egypt’s Great Game in the Middle East.” Diakses 9 Juli 2020. https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/turkey-and-egypts-great-game-in-the-middle-east.
The Syrian Observatory For Human Rights. “Turkish Involvement in Libya’s War | Turkey Sends New 400 Mercenaries to Libya, and over 350 Killed so Far • The Syrian Observatory For Human Rights,” 1 Juni 2020. https://www.syriahr.com/en/167755/.