Politik Luar Negeri Bebas-Aktif dan Kompleksitas Pengadaan Alutsista TNI: Sebuah Catatan Kritis

Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala (402) pada April 2021 menyisakan polemik terkait pengadaan alutsista. Bercermin dari kasus ini, TNI perlu secara rutin melakukan peremajaan alutsista dengan mengadakan alutsista baru. Namun hingga kini, permasalahan tersebut masih menjadi persoalan. Politik luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Alfin Febrian Basundoro
9 min readJun 1, 2021
KRI Nanggala, kapal selam TNI AL yang dinyatakan tenggelam pada 24 April 2021 di Perairan Bali Utara

Masih jelas dalam ingatan rakyat Indonesia mengenai tragedi tenggelamnya KRI Nanggala (402), di Perairan Bali Utara pada kedalaman lebih dari 838 meter. Tragedi yang merenggut keseluruhan awak kapal — mencapai 53 orang — menjadi yang pertama menimpa kapal selam Indonesia, meski memang kecelakaan kapal selam telah berulang kali terjadi di dunia. Sejak 2000, sedikitnya lima kapal selam telah tenggelam dengan penyebab yang bervariasi, dengan keseluruhan awak tewas. Sebelum KRI Nanggala, kapal selam Angkatan Laut Argentina — ARA San Juan — mengalami kejadian serupa di Perairan Rivadavia, Argentina pada 2017 dan ditemukan hampir setahun setelah kejadian.

Tenggelamnya KRI Nanggala menambah daftar panjang polemik pembaruan dan perawatan alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI. Pasalnya, kapal selam tersebut telah berusia hampir 40 tahun sejak selesai dibuat di galangan kapal Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW), Kiel, Jerman Barat pada bulan Maret 1981 bersama dengan saudara kembarnya, KRI Cakra (401) (Gardiner, 1995). Di banyak negara, alutsista maritim dengan usia di atas 35 tahun biasanya telah memasuki masa pensiun — dicoret dari daftar layak tugas untuk selanjutnya dibesituakan (scrapped) atau dipertahankan untuk diberikan perawatan total (preserved) secara rutin. Masalahnya, tindakan tersebut seringkali tidak dilakukan di Indonesia. Banyak alutsista TNI yang telah uzur namun tetap dipakai dalam dinas hingga benar-benar tidak dapat dipakai dengan perawatan ala kadarnya. Tak jarang, alutsista yang telah uzur itu juga dikanibalisasi suku cadangnya untuk memenuhi kebutuhan alutsista serupa yang kurang suku cadang, menunjukkan minimnya upaya pembaruan dan perawatan yang serius dan komprehensif.

Dioperasikannya alutsista TNI AL hingga benar-benar mencapai batas usia pakai telah jamak terjadi. Sebelumnya, KRI Slamet Riyadi (352) yang merupakan kapal perang fregat kelas Achmad Yani baru dipensiunkan setelah memasuki usia pakai lebih dari 50 tahun. Kapal tersebut dioperasikan pertama kali oleh Angkatan laut Kerajaan Belanda pada tahun 1967 sebelum akhirnya dibeli oleh TNI AL pada tahun 1987 hingga dipensiunkan pada tahun 2019 (Indirawati, 2020). Meskipun mengalami beberapa kali revitalisasi, namun dengan usia pakai yang kian uzur, kapabilitas kapal akan kian minim dan tidak dapat bersaing dengan kapal-kapal perang yang lebih modern, terutama dalam hal teknologi peperangan. Hal buruk yang berisiko terjadi— sebagaimana diduga terjadi pada KRI Nanggala — adalah kerusakan fatal yang menyebabkan kecelakaan bagi alutsista tersebut berikut awaknya. Ditambah lagi, kapal fregat kelas Achmad Yani yang seluruhnya berusia pakai di atas 50 tahun tersebut belum mendapat penggantinya, lagi-lagi karena proses pembaruan yang tak kunjung menemui titik terang.

Kapal perang kelas Achmad Yani yang sebagiannya masih dioperasikan hingga usia lebih dari 50 tahun (

Apabila merangkum dari sejumlah literatur, akar dari permasalahan ini dijelaskan oleh Laksamana (2014) serta Morris dan Paoli (2018) berada pada dua tingkatan, yakni domestik dan internasional. Secara domestik, di antara akar permasalahannya adalah (1) karakter rezim politik; (2) program terkait alutsista seperti Minimum Essential Forces (MEF) yang tidak kunjung terpenuhi; dan (3) penganggaran sektor pertahanan. Akar ketiga ini dijelaskan lebih lanjut oleh Laksamana, Gindarsah, dan Maharani (2020) bahwa TNI AL memperoleh alokasi anggaran yang relatif minim, hanya 15% dari total anggaran belanja pertahanan — dibandingkan dengan TNI AD yang mencapai 40%. Sementara itu, pada tingkat internasional, karakteristik politik luar negeri dan ancaman militer eksternal menjadi akar permasalahan utamanya. Tanpa menafikan akar permasalahan lainnya, tulisan ini berupaya memberikan pandangan kritis terkait karakteristik politik luar negeri Indonesia sebagai salah satu akar permasalahan pembaruan alutsista Indonesia.

Bagaimana politik luar negeri mempengaruhi pengadaan alutsista?

Politik luar negeri merupakan aspek terpenting bagi suatu negara untuk mendorong kepentingannya, termasuk dalam pengadaan alutsista. Alutsista sendiri merupakan alat politik yang sangat signifikan — seiring dengan kegunaannya sebagai sarana proyeksi kekuatan suatu negara — pengadaannya tentu sangat bernilai politik. Tidak heran apabila sebagian besar negara cenderung mendekati negara lain yang telah menjadi sekutu utama atau mitra dalam politik sebagai sumber alutsistanya. Selain untuk memperoleh keuntungan dengan menguatnya kerja sama pertahanan, pembelian alutsista dari sumber tersebut juga menghindarkan negara importir dari kerugian berupa reaksi negatif yang sewaktu-waktu dapat muncul apabila negara sumber merasa “dikhianati”. Sebagai contoh, Jepang dan Singapura adalah dua negara yang memiliki kemitraan politik kuat dengan negara-negara Barat seperti AS, Inggris, dan Australia. Praktis, kedua negara tersebut akan cenderung memperoleh alutsista dari negara-negara Barat itu pula, alih-alih dari RRT atau Rusia.

Di sisi lain, politik luar negeri Indonesia sangatlah kompleks dan pragmatis — berlandaskan asas “bebas dan aktif”. Artinya, Indonesia berupaya untuk menjalin kemitraan dengan negara apapun, tanpa terlalu memandang ideologi atau blok politik dan “aktif” dalam melaksanakan prinsip perdamaian dunia (Laksamana, 2017). Hal inilah yang membuat Pemerintah Indonesia seringkali sangat ekstensif dalam berhubungan dengan negara lain — semisal selain berkiprah di ASEAN, Indonesia juga terlibat dalam organisasi lainnya seperti APEC, IORA, hingga G-20. Selain itu, Indonesia mengupayakan relasi yang “bersahabat” dengan setiap negara di dunia, dengan meminimalisasi reaksi negatif yang sewaktu-waktu muncul. Sebagai contoh, kendati berhubungan erat dengan AS dalam sejumlah urusan pertahanan-keamanan, Indonesia justru lebih banyak berhubungan dengan Tiongkok — notabene merupakan rival AS — untuk urusan perekonomian.

Politik luar negeri yang kompleks ini juga mendorong Indonesia untuk melakukan diversifikasi sumber alutsista. Langkah ini dilakukan tidak lain demi menjaga relasi Indonesia dengan beragam negara, bahkan negara-negara yang mengalami polarisasi secara politik — semisal AS dengan Tiongkok dan Rusia. Pemerintah Indonesia agaknya memaknai situasi ini sebagai upaya untuk menjaga agar Indonesia “tetap di tengah” — agar tidak berpihak pada blok apapun yang berpotensi merusak doktrin politik luar negeri “bebas dan aktif” ini. Studi yang dilakukan SIPRI (2020) menjelaskan bahwa dibandingkan dengan era Orde Lama dan Orde Baru, jumlah negara asal alutsista Indonesia meningkat signifikan pada era Reformasi — dari enam negara pada 1960, meningkat menjadi 12 negara pada 1990-an, dan 26 negara sejak 2015. Tidak hanya kepada negara Blok Barat-Timur, Indonesia juga bergantung kepada negara-negara industri baru seperti Turki, Korea Selatan, Afrika Selatan, dan Brasil untuk membeli alutsista.

Selain itu, faktor yang tidak boleh dilupakan adalah aneka embargo yang harus dihadapi oleh Indonesia pada akhir era Orde Baru. Seiring dengan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI di Timor Timur pada tahun 1990-an, AS, Uni Eropa, dan Australia menjatuhkan sanksi embargo kepada Indonesia hingga pertengahan tahun 2000-an (Inkiriwang, 2020; Camroux & Srikandini, 2013). Hal ini mendorong Indonesia untuk mencari negara penyuplai alutsista lainnya, semisal Rusia. Bahkan pada periode 2015-2020, Korea Selatan dan Belanda menjadi dua negara dengan nilai suplai alutsista terbesar ke Indonesia menurut UNROCA. Selain itu, solidaritas sesama negara nonblok agaknya turut mendorong Indonesia memperluas kemitraan pertahanan dengan negara-negara nonblok di atas.

Kompleksitas pengadaan sarpras, alih teknologi, dan sistem pertahanan terpadu

Meski selaras dengan politik luar negeri bebas aktif dan mendorong kerja sama pertahanan yang lebih luas, ada harga mahal yang harus ditanggung oleh Indonesia terkait dengan diverisifikasi penyuplai alutsista. Kecenderungan Indonesia untuk mengimpor alutsista dari banyak negara dengan kuantitas yang sedikit mengakibatkan perawatan menjadi sangat kompleks. Apabila tidak terjadi alih teknologi, alutsista tersebut perlu dikirim ke negara asalnya untuk menjalani perawatan, sementara Indonesia mengimpor alutsista dari 26 negara. Tentunya, situasi ini juga menyebabkan alih teknologi menjadi urusan yang sangat kompleks, seiring dengan perbedaan kualitas teknologi, infrastruktur, dan prasarana lain dari setiap negara asal yang perlu disesuaikan oleh industri pertahanan (inhan) nasional. Alhasil, biaya — baik untuk lisensi produksi dan perawatan rutin alutsista — akan kian membengkak.

Hal ini berkontradiksi dengan upaya alih teknologi sebagai pertimbangan yang krusial dalam pengadaan alutsista Indonesia. Pemerintah bahkan mensyaratkan alih teknologi sebagai bentuk imbal balik (offset) dari pembelian alutsista dengan diterbitkannya UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Tentunya, harapannya Indonesia suatu saat dapat mandiri dalam mengembangkan alutsista berbagai matra. Dengan alih teknologi yang kian kompleks, maka upaya inhan tanah air untuk meningkatkan kapabilitas riset dan produksinya terhadap alutsista strategis.

Persoalan lainnya terjadi dalam hal perancangan dan aplikasi sistem pertahanan terpadu. Untuk menciptakan pertahanan nasional yang kuat dan strategis, negara perlu membangun sistem pertahanan yang saling terkoneksi antarmatra, sehingga apabila terjadi ancaman, kekuatan pertahanan nasional dapat memberikan respons terbaik secara simultan. Misalnya, radar yang ditempatkan di kawasan perbatasan akan menjadi “mata” dan “telinga” dalam mencegat informasi mengenai datangnya musuh. Sinyal tersebut dikirimkan kepada markas besar militer untuk selanjutnya menjadi landasan pengambilan keputusan guna menghalau ancaman oleh matra yang bersangkutan — darat, laut, atau udara. Ketepatan dan kecepatan respons terhadap ancaman akan meningkat apabila sistem pertahanan dirancang secara sistematis, didukung oleh data link yang salin terkoneksi. Data link ini unik dan menjadi “identitas” bagi suatu negara dalam pertempuran

Masalahnya, terlalu beragamnya asal alutsista Indonesia akan membuat sistem koneksi data link sulit dirancang dan diaplikasikan, seiring dengan kompatibilitas sistem bawaan setiap alutsista yang sangat beragam. Risikonya dapat menjadi fatal apabila alutsista yang dimiliki ternyata berasal dari negara yang saling berlawanan secara politik. Sebagai contohnya, adalah pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 asal Rusia yang memperkuat TNI AU, sementara Indonesia juga memiliki sistem rudal pertahanan udara (hanud) NASAMS asal Norwegia yang merupakan anggota NATO. Dikhawatirkan, sistem hanud NASAMS dapat tanpa sengaja menghancurkan Su-27 dan Su-30 pada saat latihan bersama, seiring dengan fungsi pokok sistem hanud tersebut untuk menghalau pesawat tempur Rusia. Dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan (2015), persoalan kompleksitas data link juga belum dijelaskan secara spesifik. Praktis, isu ini belum menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Indonesia — menambah panjang daftar problematika teknis pertahanan Indonesia.

Epilog: bagaimana Pemerintah Indonesia perlu merancang ulang strategi politik luar negeri terkait dengan pengadaan alutsista?

Tragedi KRI Nanggala 402 harus menjadi momentum refleksi sektor pertahanan dan reformasi pengadaan alutsista. Pemerintah Indonesia perlu menggunakan pendekatan yang berbeda dalam melakukan pengadaan alutsista. Kementerian Pertahanan, DPR, dan segala pemangku kepentingan pertahanan perlu menyadari bahwa peningkatan efek deterensi menjadi kebutuhan elementer yang harus menjadi landasan pengadaan alutsista di masa depan. Kian kompleksnya situasi geopolitik regional — seiring dengan peningkatan agresivitas Tiongkok dan makin gencarnya negara-negara tetangga dalam “memperkuat diri” dengan aneka alutsista mutakhir — tidak boleh dipandang sebelah mata.

Politik luar negeri — sekalipun saling berkaitan erat — perlu dibedakan secara tegas dengan kebijakan pertahanan. Di satu sisi, Indonesia mungkin tetap harus meningkatkan solidaritas global dengan politik luar negeri “bebas-aktif”-nya — dengan bergabung dengan aneka organisasi internasional, menjalin persahabatan dengan seluruh negara di dunia, hingga berperan aktif dalam resolusi konflik. Di sisi lain, Indonesia perlu menyadari bahwa persoalan pertahanan nasional adalah isu krusial yang perlu diatasi oleh setiap negara — tidak peduli bagaimana politik luar negeri yang diusung oleh negara tersebut. Apalagi, Indonesia memiliki visi ketahanan nasional dengan tajuk Asta Gatra yang tegas menekankan pentingnya kapabilitas militer sebagai tulang punggung pertahanan nasional.

Kompleksitas pengadaan alutsista perlu dipangkas, tentunya diiringi pula dengan perbaikan sistem internal, baik di institusi pemangku kebijakan, institusi inhan, dan pelaksana pertahanan. Dampaknya, Indonesia akan mampu secara lebih efektif mengembangkan sektor pertahanannya dan meningkatkan efek deterensi. Ditambah, konsep Revolution in Military Affairs (RMA) hingga peperangan generasi keenam kian menjadi tren bagi pengembangan militer di berbagai negara. Indonesia — sebagai kekuatan tengah global — seharusnya perlu mempertimbangkan situasi ini dalam rangka menghadapi ancaman eksternal global. Jalan masih panjang, usaha keras dan cerdas harus terus dilaksanakan.

Referensi

Camroux, D., & Srikandini, A. (2013). EU-Indonesia Relations: No Expectations-Capability Gap? In T. Christiansen, E. Kirchner, & P. Murray (Eds.), The Palgrave Handbook of EU-Asia Relations (pp. 554–570). London: Palgrave Macmillan UK. doi: 10.1057/9780230378704_36

Gardiner, R., Chumbley, S., & Budzbon, P. (1995). Conway’s All the World’s Fighting Ships, 1947–1995. Naval Institute Press.

Indirawati, F. (2020, June 15). KRI Slamet Riyadi-352 Ternyata Kapal Bekas Belanda yang Dibeli RI. Retrieved June 1, 2021, from Vivanews website: https://www.viva.co.id/militer/militer-indonesia/1222066-kri-slamet-riyadi-352-ternyata-kapal-bekas-belanda-yang-dibeli-ri

Indonesian Ministry of Defence. (2015). Indonesian Defence White Paper 2015 [White Paper]. Jakarta.

Inkiriwang, F. W. (2020). The dynamic of the US–Indonesia defence relations: The ‘IMET ban’ period. Australian Journal of International Affairs, 74(4), 377–393. doi: 10.1080/10357718.2020.1712327

Laksmana, E. (2017). Pragmatic Equidistance: How Indonesia Manages its Great Power Relations. doi: 10.18574/nyu/9781479866304.003.0004

Laksmana, E. A. (2014). The Hidden Challenges of Indonesia’s Defence Modernisation. RUSI Newsbrief, 34(3), 17–19. Retrieved from https://rusi.org/publication/newsbrief/hidden-challenges-indonesia%E2%80%99s-defence-modernisation

Laksmana, E. A., Gindarsah, I., & Maharani, C. (2020). 75 Tahun TNI: Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan Organisasi Militer Indonesia 1945–2020. Jakarta: CSIS Indonesia.

Morris, L. J., & Paoli, G. P. (2018). A Preliminary Assessment of Indonesia’s Maritime Security Threats and Capabilities (p. 55). Cambridge: RAND Corporation. Retrieved from RAND Corporation website: https://www.rand.org/pubs/research_reports/RR2469.html

SIPRI. (2021, March 31). TIV of arms exports to Indonesia, 1960–2020. Retrieved June 1, 2021, from SIPRI Arms Transfer Database website: https://armstrade.sipri.org/armstrade/html/export_values.php

--

--