Polemik Natuna dan Tinjauan Kembali Pertahanan Nasional Kita

Alfin Febrian Basundoro
7 min readJan 12, 2020

--

KRI Karel Satsuit Tubun (356) di Pangkalan Utama AL Natuna.

Klaim Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan yang dinyatakan dalam ‘sembilan garis putus’ (nine-dashed line) agaknya telah menyasar wilayah perairan Natuna. Dalam seminggu terakhir, terjadi serangkaian aktivitas mencurigakan yang dilakukan oleh beberapa kapal penjaga pantai Tiongkok di perairan tersebut. Memang, wilayah perairan Natuna termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan bukan merupakan wilayah kedaulatan atau laut teritorial Republik Indonesia. Namun, Indonesia memiliki hak berdaulat atas wilayah laut tersebut, terutama atas sumber daya laut di dalamnya. Masalahnya, tindakan kapal-kapal Tiongkok yang memasuki kawasan perairan Natuna menjadi indikasi bahwa klaim Tiongkok tersebut dapat sewaktu-waktu menyinggung wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Agaknya, tindakan kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok tersebut memang keterlaluan. Tak hanya memasuki Zona Ekonomi Eksklusif, kapal-kapal tersebut rupanya juga melakukan ‘pengawalan’ terhadap kapal nelayan Tiongkok agar dapat bebas mendekati perairan Natuna dan mencaplok sumber daya maritim di kawasan tersebut. Beberapa laporan bahkan menyatakan bahwa kapal-kapal Tiongkok tersebut mengganggu aktivitas nelayan lokal, di mana kapal-kapal tersebut berani memepet dan menabrak mereka. Dengan ukuran yang lebih besar, kapal penjaga pantai Tiongkok jelas dapat dengan mudah menandingi kapal-kapal nelayan lokal.

Kejadian tersebut seharusnya menjadi ‘lampu kuning’ atau ‘alarm peringatan’ bagi aparat penjaga keamanan laut nasional, baik TNI AL maupun Bakamla, serta Kementerian Pertahanan yang bertanggung jawab terhadap tegaknya pertahanan dan keamanan nasional secara umum. Telah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia memiliki wilayah maritim yang amat luas dan bersinggungan dengan wilayah maritim sekian banyak negara. Penyelesaian sengketa perairan tak semudah penyelesaian sengketa perbatasan darat yang mungkin dapat diselesaikan dalam dua-tiga kali negosiasi. Laut merupakan wilayah yang secara fisik tak dapat dibatasi. Fenomena geomorfologi dan geologi di sekitarnya, seperti arus laut, gelombang, dan cuaca turut menjadi kendala dalam penegakan keamanan maritim. Hal ini kemudian mengharuskan pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang terhadap berbagai aspek terkait: konsep pertahanan dan keamanan nasional, pemetaan wilayah laut secara berkala, hingga usaha diplomasi terhadap negara lain terkait dengan wilayah maritim nasional.

Kecolongannya Indonesia dalam polemik Natuna mengindikasikan bahwa konsep pertahanan-keamanan nasional yang diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia belum memadai. Akibatnya, Indonesia yang awalnya tak terlibat dalam pusaran konflik sengketa Laut Tiongkok Selatan pada akhirnya harus turut bersiap ‘adu fisik’ dalam konflik tersebut. Indonesia belum mampu mengantisipasi ancaman yang datang secara efektif dan efisien, serta tak dapat secara signifikan melakukan proyeksi kekuatan, terutama di wilayah perairan.

Peta wilayah Perairan Natuna

Program Minimum Essential Forces (MEF) yang telah dicanangkan sejak lebih dari satu dasawarsa lalu sebagai leading line bagi pertahanan strategis nasional belum dapat dikatakan memenuhi target. Sejak 2007, MEF yang seharusnya dicapai pada awal dasawarsa ini — atau selambat-lambatnya 2024 masih dapat dikatakan ‘jauh panggang daripada api’. Pertama, pelaksanaan MEF belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pertahanan strategis nasional dalam mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, khususnya apabila melihat kondisi geografis dan geopolitik Indonesia. Padahal, kondisi geografis merupakan aspek paling krusial yang harus jadi perhitungan dalam membentuk program pertahanan. Komponen-komponen dalam aspek ini di antaranya luas wilayah pertahanan; kondisi geomorfologis seperti wilayah maritim, pegunungan, perairan darat, dan kenampakan alam lainnya; kekayaan sumber daya alam; dan dampaknya terhadap wilayah negara lain, seperti security dilemma (dilema keamanan) yang sejauh ini pula telah menjadi isu pelik dalam politik luar negeri Indonesia.

Belum sempurnanya program MEF dalam aspek ini dapat terlihat dari fokus pertahanan nasional yang masih bersifat ‘kedarat-daratan’. Maksudnya. TNI sebagai komponen utama pertahanan nasional masih berorientasi pada matra darat. Hal ini dibuktikan dengan masih dominannya TNI Angkatan Darat (AD) dalam penegakan pertahanan dan keamanan (hankam), terutama jumlah pasukan. Buku statistik militer Military Balance 2018 yang dikeluarkan oleh lembaga riset keamanan internasional Institute of International Strategic Studies (IISS) menyatakan bahwa pasukan aktif TNI AD berjumlah lebih dari 300.000 personel. Selain itu, TNI AD masih mendominasi dalam organisasi dan mobilisasi kekuatan pertahanan, terutama alat utama sistem pertahanan (alutsista), di mana banyak alutsista TNI AD yang terus diperbaharui, didukung oleh industri pertahanan yang juga masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pertahanan darat. Pun, jelas terlihat bahwa penggunaan anggaran pertahanan yang kabarnya mencapai US$8.5 miliar itu (IISS 2018) juga dikuasai oleh TNI AD.

Wilayah laut, yang mendominasi wilayah pertahanan nasional belum benar-benar menjadi fokus dari program pertahanan nasional tersebut. Padahal, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Apalagi, Indonesia memiliki zona laut teritorial dan laut pedalaman, serta menerapkan Zona Ekonomi Eksklusif sebagai wilayah pemanfaatan sumber daya maritim dengan jarak 200 mil laut dari garis pantai, berdasarkan United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS). Alhasil, pengamanan wilayah laut nasional seharusnya menjadi prioritas dalam program hankam Indonesia. Tetapi apa mau dikata, kekuatan laut Indonesia bahkan tak lebih baik daripada beberapa negara tetangga. Indonesia total hanya memiliki empat kapal selam aktif dan tujuh kapal fregat sebagai kapal tempur permukaan utama, tanpa armada kapal perusak — yang apabila mempertimbangkan luas wilayah maritim, perlu dimiliki oleh Indonesia. Dari tujuh kapal fregat tersebut, hanya dua yang benar-benar baru dan dapat diandalkan sebagai kapal tempur ‘modern’. Sisanya, adalah kapal fregat bekas dari Belanda yang secara usia tentunya telah uzur. Dari aspek kekuatan laut lainnya, Indonesia hanya memiliki kapal korvet dan kapal patroli lepas pantai yang secara kekuatan memang tak dapat menandingi kapal-kapal yang lebih besar seperti fregat atau perusak.

Dalam penegakan pertahanan-keamanan maritim, TNI AL masih bergantung pada armada lawas.

Peristiwa yang terjadi di Natuna lantas menjadi peringatan kepada Indonesia mengenai ancaman nyata yang harus dihadapi. Bukan ancaman di darat, sebagaimana hingga kini masih menjadi fokus bagi para petinggi sektor pertahanan nasional, namun di laut. Meskipun Indonesia tak terlibat dalam klaim wilayah Laut Tiongkok Selatan, namun dengan masuknya kapal penjaga pantai Tiongkok menunjukkan bahwa ada indikasi bahwa Tiongkok tak segan melakukan segala hal demi mempertahankan klaim mereka. Ditambah lagi, berbagai pantauan satelit mengenai perkembangan pulau-pulau buatan di Laut Tiongkok Selatan yang semakin signifikan, yang menjadi bukti adanya aktivitas intensif AL Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Apalagi, secara hard power, AL Tiongkok jelas tak dapat diremehkan. Visi-misi “angkatan laut berkelas global” sangat mungkin akan dilaksanakan oleh negara tersebut, dengan Laut Tiongkok Selatan sebagai wilayah titik mula. Didukung pula dengan dua kapal induk yang memungkinkan Tiongkok secara intensif melakukan pamer kekuatan, yang selanjutnya akan menimbulkan deterrence effect (efek penggentar) terhadap negara apapun yang berniat menantangnya.

Kedua, adalah masih berkutatnya pertahanan nasional kita dengan doktrin lawas. Sejak perang kemerdekaan lampau, Indonesia terkenal dengan satu doktrin pertahanan: sistem pertahanan rakyat semesta. Doktrin ini membutuhkan kuantitas pasukan yang masif dengan dimungkinkannya strategi “gelombang manusia” atau perang gerilya untuk melawan musuh. Padahal, doktrin ini amat kuno. Di berbagai palagan pertempuran modern, sistem pertahanan rakyat semesta terbukti telah meninggalkan kerugian yang amat besar bagi negara yang menerapkannya. Sebagai contoh, Iran pada Perang Iran-Irak kehilangan sejumlah besar pasukan secara sia-sia akibat menerapkan doktrin ini. Memang, cara ini menimbulkan ketakutan pada pasukan musuh apabila mempertimbangkan kuantitas pasukan. Namun, apabila musuh melakukan improvisasi taktik dengan memanfaatkan berbagai aspek: kondisi alam, persenjataan yang lebih modern, dan mobilisasi pasukan, maka taktik tersebut akan sia-sia. Pasukan yang tersisa pun tak dapat secara optimal melawan pasukan musuh dengan optimal.

Seharusnya, perlu diadakan pembaruan doktrin yang menyesuaikan dengan kondisi pertempuran modern. Perlu pula ada pertimbangan antara taktik dengan ancaman real yang harus dihadapi Indonesia. Kini, peningkatan pertahanan nasional tak melulu mempertimbangkan kuantitas pasukan sebagaimana kedua perang dunia yang masih sarat dengan ‘adu fisik’. Jerry Indrawan, dalam Pengantar Studi Keamanan (2019), pertempuran modern lebih mementingkan kemajuan teknologi, sistem komunikasi, dan informasi digital. Kemajuan-kemajuan tersebut kemudian membuat kuantitas pasukan tak lagi menjadi prioritas. Peningkatan kemampuan teknologi perang udara (aerial warfare) misalnya, akan mengurangi ketergantungan pada mobilisasi pasukan di darat. Serangan udara dapat dengan cepat melumpuhkan target-target strategis dan menciptakan efek yang masif bagi suatu negara dibanding dengan hanya menggunakan pasukan darat untuk menguasai suatu wilayah.

Tentu aspek-aspek di atas menjadi tantangan bagi pelaksanaan konsep pertahanan nasional kita, dengan TNI sebagai komponen vital di dalamnya. Optimalisasi dan intensifikasi pasukan militer aktif nampaknya dapat menjadi solusi dari problematika yang masih menjangkiti pertahanan nasional kita. Anggaran militer yang berjumlah sekian miliar Dolar AS itu nantinya dapat secara efektif digunakan untuk pembaruan alutsista, sistem tekonologi-informasi, dan modernisasi serta pembangunan industri pertahanan nasional, alih-alih digunakan sekadar untuk membiayai pasukan aktif dalam jumlah besar. Agaknya, moratorium perekrutan pasukan aktif TNI pula perlu dilakukan di waktu mendatang untuk tujuan optimalisasi tersebut.

Aspek penting lain yang tak dapat dilupakan untuk meninjau kembali pertahanan nasional kita adalah dilema keamanan yang dihadapi Indonesia di kawasan Asia Tenggara — bukan hanya problematika Natuna. Saat ini, negara-negara Asia Tenggara sedang berlomba-lomba melakukan modernisasi alutsista dan pembaruan doktrin militer masing-masing dalam rangka menghadapi ancaman yang semakin sulit diperkirakan, sebagai contoh, Singapura yang baru saja meneken kontrak pembelian 12 unit pesawat tempur F-35 dari AS. Meskipun begitu, apakah Indonesia mesti beralih fokus dari usaha untuk menghadapi ancaman fisik menjadi usaha untuk menghadapi ancaman kontemporer lainnya, seperti cyber terrorism? Memang kini, isu ancaman nonfisik semakin mengemuka dan ‘membuka mata’ lebar-lebar banyak negara untuk memperbarui doktrin, konsep, dan strategi pertahanan nasional mereka. Indonesia pula, sebenarnya telah memiliki framework yang mengarah kepada usaha menghadapi ancaman tersebut. Namun, sekali lagi, polemik di perairan Natuna pula menyadarkan kita bahwa ancaman fisik masih harus menjadi prioritas bagi pertahanan nasional. Bukan tak mungkin pula apabila ancaman fisik tersebut menjadi semakin masif dan tak terduga, menuntut kita untuk melakukan pembaruan secara menyeluruh, sebagaimana yang penulis paparkan sebelumnya.

Referensi

South China Morning Post. “Indonesia Deploys Fighter Jets to Patrol Natuna Islands at Centre of China Spat,” 8 Januari 2020. https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3045156/indonesia-deploys-fighter-jets-warships-patrol-natuna.

“Indonesia rejects Beijing’s claims to Natuna Islands, SE Asia News & Top Stories — The Straits Times.” Diakses 12 Januari 2020. https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesia-rejects-beijings-claims-to-natuna-islands.

“Indonesia sends more warships, submarine to Natuna as China backs down | Jane’s 360.” Diakses 12 Januari 2020. https://www.janes.com/article/93621/indonesia-sends-more-warships-submarine-to-natuna-as-china-backs-down.

Indrawan, Jerry. Pengantar Studi Keamanan. Malang: Intrans Publishing, 2019.

Rahman, Alex, Arwin Sumari, dan Syaiful Anwar. “ANALISIS MINIMUM ESSENTIAL FORCE (MEF) DALAM RANGKA PEMBANGUNAN CYBER-DEFENSE 1 ANALYSIS OF MINIMUM ESSENTIAL FORCE (MEF) IN BUILDING CYBER-DEFENSE.” Jurnal Pertahanan & Bela Negara 5 (1 Januari 2015): 24. https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i3.370.

“The Military Balance.” International Institute of Strategic Studies 118, no. 1 (Januari 2018): 5–6. https://doi.org/10.1080/04597222.2018.1416963.

--

--

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet