Mungkinkah AL Rusia Bertahan Tanpa Kapal Induk?

Alfin Febrian Basundoro
9 min readDec 28, 2019

--

Kapal induk Admiral Kuznetsov terbakar pada 12 Desember 2019.

Peristiwa nahas terbakarnya kapal induk Admiral Kuznetsov pada 12 Desember 2019 cukup menggemparkan ranah militer Rusia. Pasalnya, kapal induk tersebut merupakan satu-satunya kapal induk milik Angkatan Laut Rusia yang masih beroperasi. Dengan parahnya kerusakan akibat kebakaran tersebut, di mana luas area terdampak mencapai 120 meter persegi, ditambah kerusakan parah pada mesin dan sistem propulsi kapal, praktis AL Rusia tak mampu mengoperasikan kapal induk tersebut. Alhasil, untuk sementara waktu (atau bahkan dalam waktu cukup lama) AL Rusia tak dapat melakukan pemindahan kekuatan udara ke laut dalam rangka melakukan operasi militer yang jauh dari pangkalannya.

Dengan biaya perbaikan yang ditaksir mencapai 1,5 miliar Dolar AS, ditambah durasi waktu perbaikan yang mencapai tiga hingga empat tahun, serta riwayat kerusakan yang berulang kali terjadi membuat AL Rusia dapat sewaktu-waktu mengambil opsi untuk memensiunkan Admiral Kuznetsov. Padahal, kapal induk tersebut belum tergolong tua. Dibuat pada 1982, Admiral Kuznetsov mulai beroperasi pada 1991 dan pertama kali berlayar pada 1995, yang berarti secara kasar kapal tersebut berusia kurang dari 30 tahun, setara dengan kebanyakan kapal perang garda terdepan kebanyakan negara bermiliter kuat macam Amerika Serikat, Tiongkok, atau India. Namun, Admiral Kuznetsov telah tenar dengan sederet problematika dan kerusakan, mulai dari asap hitam pekat akibat pembakaran mesin yang tak sempurna, kerusakan sistem elektronik, kerusakan mesin, hingga kegagalan pendaratan pesawat Sukhoi Su-33 pada 2016 lalu.

Kondisi di atas mengakibatkan kemungkinan Rusia keluar dari ‘keanggotaan’ negara-negara operator kapal induk semakin besar. Kapal induk telah lama menjadi simbol kekuatan laut suatu negara, di mana kapal induk dapat menjadi sarana mobilisasi kekuatan udara ke laut yang secara fleksibel dapat dioperasikan sebagai komponen strategis dalam operasi tempur di luar wilayah suatu negara. Kapabilitas inilah yang kemudian dapat menjadikan angkatan laut suatu negara bertitel ‘blue water navy’ atau angkatan laut berkelas global. Kapal induk lantas dapat menjadi alat penggentar (deterrence) suatu negara terhadap negara lain. Berkaitan dengan konsep dilema keamanan, negara yang memiliki kapal induk pun dapat memberikan ‘efek ancaman’, terutama terhadap negara yang menjadi pesaing secara politik.

Amerika Serikat, Tiongkok, India, Prancis, Inggris, dan Jepang adalah contoh segelintir negara yang mengoperasikan kapal induk. Sebagian di antaranya adalah rival geopolitik Rusia. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan terjadi peningkatan tensi hubungan antara Rusia dengan beberapa negara di atas. Alhasil, Rusia tetap harus ‘memasang wajah garang’ guna memberikan efek pengancam, di mana cara paling utamanya tak lain dan tak bukan adalah dengan menampilkan kekuatan militernya, baik dengan latihan tempur maupun operasi tempur. Keberadaan kapal induk pun tak dapat dipungkiri menjadi kepingan penting dalam strategi tersebut. Kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan: mampukah Rusia bertahan dan tetap menjadi kekuatan laut dunia tanpa kapal induk?

Untuk membahas pertanyaan tersebut, perlu digarisbawahi bahwa doktrin pertahanan laut Rusia berbeda dengan Amerika Serikat atau Tiongkok. Kedua negara di atas memiliki kepentingan pertahanan laut yang mengglobal dan karenanya, seringkali strategi ekspansionis berperan penting dalam doktrin angkatan laut keduanya. Strategi tersebut dicirikan dengan usaha Amerika Serikat dan Tiongkok dalam membangun kapal-kapal induk berukuran masif (supercarrier), armada kapal perusak jarak jauh, dan kapal tempur lain yang menjadi pendukung grup tempur kapal induk (carrier strike group). Grup tempur tersebut amat berguna untuk melakukan kontrol atas wilayah perairan secara luas, mempertahankan superioritas atas wilayah udara perairan, sebagai pusat komando operasi tempur, dan garda terdepan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan untuk serangan terhadap kedudukan musuh.

Grup tempur kapal Induk Amerika Serikat

Amerika Serikat, sebagaimana dinyatakan banyak sumber, telah menetapkan seluruh samudera di dunia sebagai wilayah operasinya dengan sembilan armada tempur. Dalam beberapa waktu belakangan, fokus operasi militer Amerika Serikat berada di wilayah Timur Tengah dan Asia Timur, menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih menjadi kekuatan militer global dalam aspek maritim. Apalagi, Amerika Serikat kini memiliki 11 kapal induk aktif yang terbagi dalam dua kelas. Tiongkok, meskipun belum seadidaya Amerika Serikat dalam hal kemiliteran terutama dalam sektor angkatan laut, namun negara tersebut sedang melakukan usaha ekspansi di wilayah Laut Tiongkok Selatan, yang berarti membutuhkan proyeksi kekuatan laut yang memadai, baik sebagai sarana pertahanan maupun untuk menciptakan efek penggentar bagi negara lain yang berpotensi menjadi pesaing bagi kepentingan Tiongkok di wilayah tersebut, terutama Vietnam dan Filipina. Selain itu, Tiongkok pula sedang gencar meningkatkan kekuatan lautnya di Laut Timur dalam rangka sengketa wilayah dengan Jepang. Tiongkok kini memiliki dua kapal induk aktif (Liaoning dan Shandong) serta sedang membangun dua kapal induk lain yang lebih besar.

Di sisi lain, Rusia tak memiliki kepentingan di luar wilayah konstituennya laiknya Amerika Serikat dan Tiongkok. AL negara tersebut tak berdoktrin ekspansionisme atau berusaha menjadi kekuatan global. Sejak era Perang Dingin, pembangunan kekuatan laut yang dilakukan oleh Uni Soviet (sebagai pendahulu Rusia) terutama bertujuan untuk menantang kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat. Memang, dengan dibangunnya sarmada kapal selam bersenjata rudal balistik, kapal jelajah, hingga kapal perusak jarak jauh dalam jumlah yang cukup signifikan menjadikan Uni Soviet kala itu sebagai angkatan laut berkelas global. Namun lagi-lagi, alutsista laut yang masif tersebut semata-mata bertujuan untuk menangkal pengaruh negara-negara Barat, termasuk merusak kapal-kapal angkatan lautnya dan bukan untuk tindakan-tindakan yang mengarah pada ekspansionisme.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa bukti menarik. Pertama, kebanyakan kapal-kapal tempur AL Uni Soviet (termasuk Rusia kini) dilengkapi dengan rudal antikapal semacam P-700 Granit, P-500 Bazalt, atau P-800 Oniks yang tak lain bertujuan untuk menghancurkan armada Amerika Serikat (termasuk carrier strike group negara tersebut) apabila diperlukan. Bahkan, kapal sekelas kapal patroli lepas pantai yang hanya memiliki panjang 50 meter dan bobot 500 ton sekalipun dilengkapi dengan rudal antikapal tersebut. Kedua, Uni Soviet dan Rusia kini tak memiliki pangkalan angkatan laut di negara lain dalam jumlah besar atau berukuran cukup luas untuk menampung kapal-kapal tempur, berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki sejumlah pangkalan angkatan laut besar di negara sekutunya. Ketiga, meskipun Uni Soviet dan Rusia memiliki program kapal induk, namun kapal induk tersebut tak menjadi sarana ofensif sebagaimana Amerika Serikat atau Tiongkok. Kapal-kapal induk Uni Soviet dan Rusia (termasuk Admiral Kuznetsov) memiliki ciri dan tujuannya sendiri.

Kapal-kapal induk Rusia dan pendahulunya, Uni Soviet sejatinya dibuat dalam rangka membangun pertahanan (defensif) wilayah laut domestik, bukan untuk memindahkan kekuatan udara ke laut dalam rangka ekspansi kekuatan atau tujuan ofensif seperti operasi militer di wilayah negara lain. Tujuan tersebut tercermin dari kapabilitas tempur kapal-kapal induk tersebut. Dari tiga ‘generasi’ kapal induk Soviet-Rusia, ketiganya memiliki kesamaan: persenjataan konvensional (rudal antikapal, rudal jelajah, dan meriam) yang masih mendominasi. Selain itu, pesawat yang dapat diangkut juga terbatas. Hal ini menjadikan militer Rusia cenderung menggolongkan kapal-kapal induknya bukan sebagai kapal induk ‘sejati’ laiknya yang dimiliki oleh Amerika Serikat, melainkan sebagai ‘kapal jelajah pengangkut pesawat’ (aircraft-carrying cruiser). Meskipun begitu, dilihat dari tahap pengembangannya, Uni Soviet memiliki cita-cita untuk membangun kapal induk ‘sejati’. Kapal induk Soviet generasi pertama seperti Moskva misalnya, hanya memiliki fasilitas helipad, yang berarti hanya helikopter yang dapat mendarati kapal tersebut. Penerusnya, Kiev, hanya mampu menampung 30 pesawat, bukan pesawat konvensional, melainkan STOVL.

Kapal induk (pengangkut helikopter) kelas Moskva (1990).

Admiral Kuznetsov yang menjadi penerus Kiev sudah berbentuk dan berkapabilitas layaknya kapal induk pada umumnya, meskipun masih beridentitas sebagai kapal jelajah. Uni Soviet berencana membangun satu kapal lagi dari kelas ini, namun negara tersebut keburu runtuh. Rusia yang menggantikannya tak dapat melanjutkan progres pembangunan kapal induk tersebut akibat krisis ekonomi akut. Belum lagi, anggaran militer Rusia mengalami penyunatan besar-besaran karena usainya Perang Dingin. Akibatnya, pengembangan kapal induk Rusia tinggal cerita. Admiral Kuznetsov menjadi produk kapal induk terakhir yang dibangun oleh Rusia.

Kapal induk kelas Kiev, terlihat peluncur rudal jelajah yang mendominasi haluan kapal.

Keberadaan Admiral Kuznetsov pun sejatinya tak terlalu berdampak signifikan bagi kekuatan laut Rusia. Sebagaimana telah dinyatakan di atas, Rusia tak memiliki kepentingan yang mengharuskan untuk melakukan proyeksi kekuatan dengan kapal induk. Kebutuhan akan diadakannya kapal induk pun tidak terlalu mendesak. Apalagi, apabila ditilik dari sudut pandang geopolitik, Rusia tidak dikelilingi laut yang luas, sehingga pembentukan carrier strike group dirasa kurang ideal. Perairan yang mengelilingi Rusia (Laut Hitam, Laut Baltik, Laut Kaspia, Samudera Arktik, Samudera Pasifik) tak tersambung menjadi satu perairan luas. Apabila doktrin AL Rusia hanyalah untuk mempertahankan wilayah perairan tersebut, maka seharusnya Rusia fokus membangun kapal tempur permukaan nonkapal induk. Pun, kuantitas kapal tempur tersebut kini lebih dari cukup, hanya saja, banyak di antaranya yang berusia uzur.

Peran Admiral Kuznetsov yang tak terlalu signifikan juga terlihat dari operasi militer yang dilakukan oleh kapal induk tersebut. Dibanding kapal-kapal induk Amerika Serikat yang mampu melayani lebih dari 150 penerbangan setiap harinya ketika puncak operasi, Admiral Kuznetsov hanya melayani tak lebih dari 20 penerbangan pesawat tempur, sebagian besar pula merupakan penerbangan latihan. Satu-satunya operasi militer yang diikuti Admiral Kuznetsov adalah Perang Saudara Suriah sejak 2015 dengan target ISIS. Sukhoi Su-33 menjadi pesawat andalan dari kapal induk tersebut. Namun, dengan segala kerusakan dan problematika yang mendera Admiral Kuznetsov, operasi militer yang dilakukan menjadi kurang maksimal. Tercatat bahwa akibat kerusakan pada sistem propulsinya, Admiral Kuznetsov harus dikawal kapal tunda (tugboat) ketika operasi militer di Suriah. Dengan peran yang tak seberapa signifikan tersebut, maka opsi memensiunkan Admiral Kuznetsov seharusnya juga bukanlah pilihan yang berat bagi AL Rusia. Apalagi, sebagaimana dinyatakan di atas, biaya perbaikan Admiral Kuznetsov amat besar.

Admiral Kuznetsov di Suriah, terlihat asap hitam membubung dari cerobong asapnya.

Anggaran militer Rusia juga masih tergolong cekak apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat, Tiongkok, dan bahkan Arab Saudi. Tercatat pada 2018, anggaran militer Rusia hanya 63,1 miliar Dolar AS. Angka tersebut hanya sepersepuluh dari anggaran militer Amerika Serikat dan sepertiga dari anggaran militer Tiongkok. Alih-alih membangun kapal induk, Rusia seharusnya dapat fokus dalam membangun dan mengembangkan armada tempur utama (perusak dan fregat) baru, sebagai contoh kapal perusak kelas Lider atau fregat Admiral Gorshkov. Selain itu, Rusia dapat melakukan pembaharuan pada kapal-kapal tempur yang telah uzur seperti perusak kelas Udaloy, Sarych (Sovremenny), dan fregat kelas Neustrashimyy. Apalagi, Rusia tak memiliki galangan kapal yang cukup besar untuk membangun kapal induk, di mana perairan di galangan tersebut pula harus ‘berair hangat’, dalam artian tak membeku ketika musim dingin. Galangan kapal Mykolaiv yang digunakan untuk membangun kapal induk di era Uni Soviet kini berada di wilayah Ukraina. Sejak 2014, hubungan Rusia-Ukraina memanas dan meningkat menjadi konflik bersenjata. Ukraina melakukan perlawanan terhadap segala tindakan militer Rusia dengan asistensi Barat. Hal ini kemudian membuat pembangunan kapal induk Rusia hampir mustahil dilakukan, kecuali apabila Rusia mampu membangun pangkalan angkatan laut berair hangat yang cukup besar di negara sekutunya, seperti Iran atau Suriah, di mana pangkalan tersebut nantinya dapat difungsikan sebagai galangan kapal. Cara lainnya, adalah membeli kapal induk Tiongkok, mengingat negara tersebut sedang gencar membangun armada kapal induk baru dan Tiongkok secara tradisional adalah kawan dekat Rusia.

Meskipun begitu, berulang kali beredar wacana pembangunan kapal induk Rusia yang baru. Proyek Ulyanovsk, Shtorm, dan LMA menjadi buktinya. Namun, dengan sederet keterbatasan yang berulang kali menghambat Pemerintah Rusia, proyek-proyek tersebut hanya sebatas wacana belaka. Belakangan, Pemerintah Rusia menyetujui dibangunnya kapal induk Shtorm, yang direncanakan akan dibangun pada 2025. Hal ini menunjukkan adanya ambisi kuat AL Rusia untuk tetap menjadi kekuatan global, sejajar dengan Amerika Serikat dan Tiongkok, tak peduli bagaimana kondisi geopolitik yang sedang dan akan dihadapinya. Rusia pula masih menyimpan ambisi Perang Dingin dalam rangka menangkal hegemoni Barat, terutama di sektor kekuatan laut.

Referensi

Business Insider. “Russia Is Desperately Trying to Save Its Only Aircraft Carrier — That’s Outdated and Plagued with Problems, Business Insider — Business Insider Singapore.” Diakses 28 Desember 2019. https://www.businessinsider.sg/russia-aircraft-carrier-admiral-kuznetsov-outdated-problems-2018-4/?r=US&IR=T.

EST, Damien Sharkov On 12/5/17 at 12:14 PM. “The Russian Navy’s Flagship Heads for Repairs after Pumping Black Smoke on the Way to Syria.” Newsweek, 5 Desember 2017. https://www.newsweek.com/russias-massive-ship-shame-heads-repair-after-smoking-way-syria-735540.

Gao, Charlie. “This Picture Shows Why Russia’s Aircraft Carrier Can Be Seen From Miles Away.” Text. The National Interest, 8 Desember 2019. https://nationalinterest.org/blog/buzz/picture-shows-why-russias-aircraft-carrier-can-be-seen-miles-away-102207.

Kofman, Michael. “Russian Defense Spending Is Much Larger, and More Sustainable than It Seems.” Defense News, 3 Mei 2019. https://www.defensenews.com/opinion/commentary/2019/05/03/russian-defense-spending-is-much-larger-and-more-sustainable-than-it-seems/.

Richard Moss, Ryan Vest. “Is Russia’s Old (And Only) Aircraft Carrier Doomed?” Text. The National Interest, 5 November 2018. https://nationalinterest.org/blog/buzz/russias-old-and-only-aircraft-carrier-doomed-35202.

SouthFront. “Repars Of Russia’s Admiral Kuznetsov After Fire Incident Will Cost $1.5 Billion: Reports,” 20 Desember 2019. https://southfront.org/repars-of-russias-admiral-kuznetsov-after-fire-incident-will-cost-1-5-billion-reports/.

Varandani, Suman. “Russian Su-33 Jet Crash: Aircraft Crashes In Mediterranean While Landing On Kuznetsov Aircraft Carrier.” International Business Times, 5 Desember 2016. https://www.ibtimes.com/russian-su-33-jet-crash-aircraft-crashes-mediterranean-while-landing-kuznetsov-2455006.

--

--

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet