Ketika Embargo Militer Berbuah Petaka

Embargo militer kerap menjadi pilihan solusi dunia internasional untuk melemahkan negara-negara yang melanggar aturan tertentu atau melawan kemanusiaan. Namun sebaliknya, sejumlah embargo militer justru melahirkan “monster” baru.

Alfin Febrian Basundoro
10 min readJun 3, 2020
Pameran alutsista Iran di Mashhad pada 2019

Embargo militer dapat didefiniskan sebagai kebijakan atau sanksi oleh suatu negara atau badan internasional terhadap negara tertentu guna membatasi akses terhadap sektor militer. Negara yang dikenai embargo militer otomatis tidak dapat memperoleh aset-aset dalam sektor tersebut dari negara pemberi sanksi— mulai dari alutsista hingga aset militer nonbenda seperti strategi dan informasi intelijen. Sebagian embargo militer juga bersifat global — artinya, negara yang bersangkutan tidak dapat memperoleh aset militer dari negara apapun secara legal.

Secara umum, embargo militer memiliki sejumlah tujuan: pertama, sebagai ungkapan penolakan terhadap kebijakan suatu negara; kedua, untuk mencegah negara yang bersangkutan terlibat dalam konflik bersenjata; ketiga, untuk melemahkan kemampuan militer suatu negara agar tidak melakukan pelanggaran tertentu; dan keempat, guna mempertahankan proses binadamai atau proses negosiasi perdamaian akibat konflik tertentu. Sejumlah negara pernah mengalami embargo militer, seperti Afrika Selatan era Apartheid, Argentina, Israel, Tiongkok, dan Iran. Meskipun embargo secara ideal ditujukan untuk membatasi kemampuan militer suatu negara, situasi sebaliknya dapat terjadi. Sejumlah negara di atas justru tetap memiliki kemampuan militer yang diperhitungkan — atau bahkan, semakin berkembang dibanding sebelum embargo, terutama dalam aspek riset dan pengembangan sektor militernya. Tulisan ini akan berfokus pada bagaimana tiga negara — Afrika Selatan, Tiongkok, dan Iran — mampu tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan yang diperhitungkan secara global di tengah embargo militer.

Afrika Selatan mengalami embargo militer secara bertahap sejak Agustus 1963 dengan landasan Resolusi DK PBB Nomor 181, namun, embargo militer tersebut bersifat sukarela. Pada 1968, Inggris dan Amerika Serikat resmi memberlakukan embargo militer terhadap Afrika Selatan, menjadikan negara tersebut prakti terisolasi dari sumber kekuatan militer Barat kala itu. Sembilan tahun berselang, melalui Resolusi DK PBB Nomor 418, PBB mengesahkan bahwa seluruh negara wajib menerapkan embargo militer atas Afrika Selatan, membuat negara tersebut tidak dapat mengimpor alutsista dari luar negeri. Menurut Andrew Terrill dalam South Africa: Arms Embargo Disimplemented (1986), landasan dari embargo tersebut di antaranya adalah kebijakan Apartheid yang ditegakkan oleh Pemerintah Afrika Selatan sejak 1948 serta pengembangan senjata nuklir. Dikhawatirkan, apabila Afrika Selatan bebas memperoleh aset militer dari luar negeri, akan terjadi tindakan penyalahgunaan aset tersebut, terutama pelanggaran hak asasi manusia.

Namun, apakah militer Afrika Selatan lantas terpuruk akibat embargo tersebut? Justru, embargo militer tersebut menjadi momentum bangkitnya industri pertahanan Afrika Selatan. Armament Corporation of South Africa (ARMSCOR) — didirikan pada 1968 — menjadi penyokong utama bagi militer negara tersebut ketika embargo diterapkan. ARMSCOR sejatinya merupakan “payung besar” yang menyatukan sejumlah industri pertahanan otonom di Afrika Selatan. Terbagi atas sejumlah divisi produksi, ARMSCOR tercatat dalam Power of Arms Industry (1994) mempekerjakan hingga 34.000 orang pada 1980 dengan pendapatan mencapai puluhan miliar Dolar AS pada tahun yang sama. Produk unggulan ARMSCOR sangat luas, mencakup senjata api dan amunisi (senapan dan pistol seri Vektor); peluru kendali (ZT-3); kendaraan tempur (Ratel, tank Olifant, dan Casspir); hingga helikopter dan pesawat tempur (Atlas Cheetah, Rooivalk, dan Oryx). Dengan demikian, ARMSCOR juga berhasil menjadi perusahaan industri pertahanan terbesar di Afrika pada era Perang Dingin. Sejumlah negara juga membeli produk-produk tersebut, sebelum pada akhirnya PBB melarang impor senjata dari Afrika Selatan pada 1984.

Atlas Cheetah dan Rooikat, dua produk unggulan ARMSCOR

Dalam aspek kekuatan militer secara umum, militer Afrika Selatan (SADF) juga amat diperhitungkan, didukung oleh kemandirian industri pertahanan dan militerisasi secara nasional. Setelah Rezim Balthazar Vorster mengesahkan UU Terorisme pada 1967, militerisasi diberlakukan di seluruh negeri dengan menerapkan wajib militer bagi pria kulit putih dan peningkatan secara drastis anggaran militer hingga 500 persen. Ketika P.W. Botha menggantikan Vorster pada 1983, total jumlah pasukan militer Afrika Selatan telah melebihi 200.000 personel dengan 83.000 di antaranya pasukan aktif. Afrika Selatan juga terlibat dalam perang sipil di Angola, Mozambik, dan perbatasan Namibia, di mana sekalipun tidak meraih kemenangan signifikan, Afrika Selatan berhasil membuktikan keunggulan dalam aspek kekuatan militer dan kecanggihan alutsista dibanding negara-negara tetangganya. Tak hanya itu, Afrika Selatan juga berhasil menguji, membuat, dan memiliki senjata nuklir pada periode 1976 hingga 1990-an dengan bantuan Jerman Barat dan Israel. De Villiers (1993) menyatakan, Afrika Selatan memiliki enam senjata nuklir dan berhasil melakukan pengujian secara rahasia di Gurun Kalahari dan diduga dilakukan pula di Samudra Hindia pada 1979 yang kemudian disebut sebagai Insiden Vela.

Negara berikutnya, Tiongkok, menjadi sasaran embargo militer oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa sejak 1989 hingga kini akibat Peristiwa Tiananmen beberapa waktu sebelumnya. Embargo ini juga menjadi permulaan dari dinginnya hubungan antara Tiongkok dan Blok Barat secara geopolitik yang terjadi hingga belakangan. Sejak embargo tersebut pula, Tiongkok berprogres menjadi salah satu kekuatan geopolitik paling ditakuti di dunia dengan industri pertahanan yang maju — menyaingi AS, Rusia, dan Uni Eropa. Tiongkok pula menjadi salah satu negara pengekspor alutsista dengan nilai terbesar di dunia, dengan target pasar negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Sejatinya, Tiongkok telah memiliki industri pertahanan yang cukup memadai sejak 1950-an dengan asistensi dari Uni Soviet. Namun, persaingan untuk menjadi kekuatan komunis dunia dan konflik perbatasan mendorong kedua negara untuk menjaga jarak hingga 1970-an. Pembukaan hubungan dengan AS dan Blok Barat menjadi harapan Tiongkok untuk memperoleh sejumlah aset militer terbaru. Namun, embargo militer memupus harapan tersebut. Membaiknya hubungan dengan Rusia pascakeruntuhan Uni Soviet juga dimanfaatkan Tiongkok untuk memperoleh sejumlah alutsista baru — tak sekadar membeli, namun juga mendapatkan transfer teknologi dan tak menutup kemungkinan pula, intelijen — krusial untuk mengembangkan industri pertahanan yang mandiri dan modern.

Sebagaimana Afrika Selatan, produk industri pertahanan Tiongkok pula amat luas dan bervariasi. Hanya saja, industri pertahanan Tiongkok tidak berada dalam satu atap dan memproduksi alutsista secara spesifik. Norinco misalnya, memproduksi senjata api dan amunisi sementara Aviation Industry Corporation of China (AVIC) membawahi sejumlah industri aviasi militer Tiongkok — memproduksi berbagai jenis pesawat terbang dan helikopter dengan kualitas yang dapat diadu dengan buatan Barat maupun Rusia. Sebut saja, Chengdu J-20 yang digadang menjadi salah satu pesawat tempur terbaik Tiongkok. Pesawat tempur tersebut menyusul F-22 Raptor dan F-35 Lightining II sebagai pesawat tempur generasi kelima yang beroperasi di dunia. AVIC juga memiliki lisensi untuk memproduksi jet tempur dengan basis desain Rusia, seperti Shenyang J-11 yang merupakan turunan dari Sukhoi Su-27 dan Shenyang J-16 — versi lisensi dari Sukhoi Su-30. Kemajuan industri sektor keamanan maritim Tiongkok juga patut disegani, terutama teknologi kapal perang Tiongkok yang setara — atau bahkan menyaingi — negara-negara Barat.

CSIS dalam U.S. Views of China’s Strategic Posture in the Pacific mencatat bahwa berkat faktor kemampuan dalam mengembangkan teknologi — sekalipun diembargo oleh Barat sejak 1989 — membuat Tiongkok menjadi kekuatan geopolitik yang mengerikan. Terlebih, belakangan Tiongkok menerapkan politik luar negeri yang ekspansif, menggelar kekuatan militer dari segala matra ke berbagai kawasan di Asia Pasifik — mulai dari Laut Tiongkok Selatan hingga perbatasan India. Embargo militer yang diterapkan kekuatan Barat terhadap Tiongkok yang seharusnya menjadi upaya menghambat kapabilitas militer dan menghentikan ekspansi negara tersebut justru berbuah sebaliknya. Amerika Serikat harus secara strategis menghadapi great power baru dunia yang telah menjadi disruptor pasca-Perang Dingin.

Kapal perusak kelas Renhai yang diyakini mampu menyaingi kapal perusak Arleigh Burke milik AS

Iran menjadi negara terakhir yang dianalisis dalam tulisan ini. Sama halnya dengan Afrika Selatan, Iran mengalami embargo militer secara bertahap. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang menjatuhkan sanksi terhadap Negeri Mullah pada 1984 diikuti oleh sejumlah negara Barat lainnya — dalam konteks menghambat kapabilitas militer Iran dalam Perang Iran-Irak. Ditambah lagi, Pemerintah AS agaknya khawatir akan ekspansi pengaruh Revolusi Islam 1979 ke seluruh Timur Tengah dan mendisrupsi tatanan politik di kawasan tersebut. Kendati Iran telah memiliki industri militer sejak 1973 yang didirikan oleh Shah Reza Pahlavi, namun hampir setiap kebutuhan militer Iran kala itu diimpor dari negara-negara Barat dengan nilai impor hingga US$8 miliar pada 1975. Dengan terputusnya hubungan dengan Barat dan embargo militer tersebut, praktis Iran harus bergantung pada kemampuannya sendiri dalam membangun dan mempertahankan kekuatan militer.

Sekalipun diembargo Barat secara militer, Iran masih tetap memperoleh perlengkapan militer dari Rusia dan Tiongkok pada 1980-an hingga 1990-an — menjadi modal berharga bagi pengembangan industri pertahanan negara tersebut. Sejumlah alutsista dari kedua negara tersebut lambat laun menggantikan alutsista Barat yang mulai uzur dalam inventaris militer Iran. Di sisi lain, industri pertahanan Iran juga berprogres — menjadikan Iran semakin mandiri dalam sektor tersebut. Sejak 1992, Iran telah berhasil memproduksi seluruh alutsista dari segala lini dan matra — mulai darat, laut hingga udara dengan berbagai spesifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan doktrin dan sistem pertahanan negara tersebut. Ketika PBB pada akhirnya menjatuhkan embargo militer total pada 2006 — buntut dugaan pengembangan senjata nuklir Iran — kapabilitas negara tersebut justru semakin menjadi-jadi.

Hingga kini, terdapat lima pabrikan terbesar di Iran yang memproduksi aset militer utama negara tersebut, di antaranya Iran Electronic Industries (IEI), Defense Industries Organization (DIO), Aerospace Industries Organization (AIO), Iran Aviation Industries Organization (IAIO), dan Marine Industries Organization (MIO). Kelimanya memproduksi komponen pertahanan secara spesifik — sebagaimana industri pertahanan Tiongkok, semisal DIO yang memproduksi tank Karrar yang ditengarai merupakan pembaruan dari tank T-80 milik Rusia dan IAIO yang merilis serial pesawat tempur HESA Azarakhsh dan Saeqeh yang merupakan pengembangan dari F-5 Tiger. Diduga oleh laman National Interest, Iran juga sedang mengembangkan teknologi jet tempur generasi kelima yang mungkin saja dapat menyaingi jet-jet tempur serupa dari negara adikuasa. Tak sampai di situ, Iran pula seara mandiri telah merancang, memproduksi, dan mengoperasikan peluru kendali dengan berbagai jarak tempuh, mulai jarak pendek hingga peluru kendali balistik. Hal ini memunculkan kekhawatiran AS mengenai kemungkinan pemanfaatan hulu ledak nuklir dalam rudal baru Iran. Rudal Khorramshar dan Sejjil-2 menjadi dua seri rudal terbaru Iran yang mampu mencapai jarak lebih dari 2000 kilometer, dikategorikan sebagai rudal balistik jarak menengah (MRBM).

Pabrik IAIO yang memproduksi jet tempur HESA Azarakhsh dan Saeqeh

Ekspansi industri pertahanan Iran juga didukung oleh ekspansi geopolitik negara tersebut ke berbagai negara di Timur Tengah — turut terlibat dalam perang proksi dan memiliki aspirasi besar untuk menjadi hegemoni di Timur Tengah. Sejak awal, Iran telah menunjukkan dukungannya terhadap Rezim Bashar Al-Assad di Suriah secara politik maupun militer. Iran pula mendukung sejumlah besar milisi Syiah (Kata’ib) yang bertempur di palagan Suriah dengan persenjataan, pelatihan militer, dan bantuan tempur dari udara. Selain itu, diduga kuat Iran mendukung milisi Ansar Islam (Al-Houthi) yang beroperasi dalam Perang Sipil Yaman sejak 2015. Perang proksi melawan Arab Saudi tersebut menjadi “angin segar” bagi industri militer strategis Iran. Sekalipun tidak ada alutsista yang diterjunkan langsung, namun Iran memiliki keunggulan strategis dengan kemandirian dalam industri pertahanan, mengingat Saudi masih amat bergantung pada impor dari AS dan sejumlah negara lainnya. Dengan kapabilitas rudalnya pula, Iran memiliki daya gentar yang lebih tinggi dibanding Saudi dalam memberikan ancaman jarak jauh.

Iran pula semakin diperhitungkan sebagai kekuatan besar di Timur Tengah. Banyak pihak yang menilai bahwa apabila AS dan sekutunya tidak melakukan penyeimbangan kekuatan, bukan tidak mungkin bahwa Iran dapat “menguasai” seluruh Timur Tengah — didukung pula oleh sentimen kebangkitan Islam. Selat Hormuz yang menjadi pintu bagi jutaan barel minyak setiap harinya juga dapat menjadi “kartu truf” bagi Iran untuk semakin menancapkan kukunya di kawasan itu.

Rudal balistik Ghadr-110 yang memiliki jarak tempuh hingga 2.500 kilometer dan berkapabilitas nuklir

Embargo militer hingga kini masih menjadi strategi sejumlah negara dan lembaga internasional untuk menghambat kapabilitas negara tertentu dalam aspek pertahanan dan keamanan. Hanya saja, proyeksi kemampuan dalam mengembangkan aspek tersebut secara mandiri sering luput dari perhitungan mereka, menjadikan efektivitas embargo militer kian dipertanyakan. Apalagi, kemajuan teknologi memungkinkan setiap negara untuk memperoleh informasi intelijen dari negara lain secara mudah dan cepat, didukung oleh sumber daya nonmiliter seperti kualitas sumber daya manusia dan ekonomi. Agaknya, embargo militer perlu pula dikombinasikan dengan sejumlah sanksi lain — sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas sekaligus seketat mungkin menutup akses negara yang bersangkutan terhadap berbagai aset-aset strategis militer dari negara lain. Ketiga negara di atas membuktikan bahwa dalam situasi apapun, kreativitas dan kemandirian dalam berbagai sektor akan sangat bermanfaat bagi kesintasan suatu negara, termasuk soal pertahanan dan keamanan. Sekalipun terdapat sejumlah pakta dan kerja sama pertahanan yang melibatkan berbagai negara, situasi dalam ranah internasional adalah dinamis; bukan tidak mungkin dalam suatu waktu, setiap negara harus berdiri di atas kakinya sendiri.

Referensi

“2020 Iran Military Strength.” Diakses 3 Juni 2020. https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=iran.

BOESE, WADE. “EU Retains China Arms Embargo.” Arms Control Today 35, no. 1 (2005): 36–37.

Cordesman, Anthony H., Arleigh A. Burke, dan Max Molot. “U.S. Views of China’s Strategic Posture in the Pacific.” China and the U.S.: Center for Strategic and International Studies (CSIS), 2019. JSTOR. https://doi.org/10.2307/resrep22586.27.

“EU arms embargo on China | SIPRI.” Diakses 31 Mei 2020. https://www.sipri.org/databases/embargoes/eu_arms_embargoes/china.

Fitch, Asa. “Iran-Saudi Cold War Intensifies as Militant Threat Fades.” Wall Street Journal, 6 November 2017, bag. World. https://www.wsj.com/articles/iran-saudi-cold-war-intensifies-as-militant-threat-fades-1509917926.

Hanlon, Joseph. “Successes and Future Prospects of Sanctions against South Africa.” Review of African Political Economy, no. 47 (1990): 84–95.

Harold, Scott, dan Alireza Nader. “China and Iran:: Economic, Political and Military Relations.” Dalam China and Iran, 1–28. Economic, Political, and Military Relations. RAND Corporation, 2012. https://www.jstor.org/stable/10.7249/j.ctt1q60w8.7.

Kamaroopi. “Power of Arms Industry.” Economic and Political Weekly 29, no. 42 (1994): 2706–2706.

“New SIPRI data reveals scale of Chinese arms industry | SIPRI.” Diakses 31 Mei 2020. https://www.sipri.org/media/press-release/2020/new-sipri-data-reveals-scale-chinese-arms-industry.

Rogerson, C. M. “Defending Apartheid: Armscor and the Geography of Military Production in South Africa.” GeoJournal 22, no. 3 (1990): 241–50.

“Russia Rejects Extending Iran Arms Embargo, Defying U.S. — Bloomberg.” Diakses 20 Maret 2020. https://www.bloomberg.com/news/articles/2019-12-27/russia-rejects-extending-iran-arms-embargo-defies-u-s-pressure.

“The Breakdown of the Arms Embargo against South Africa.” Issue: A Journal of Opinion 7, no. 4 (1977): 27–34. https://doi.org/10.2307/1166393.

--

--

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet