Kesepakatan Perdagangan Alutsista AS-Arab Saudi: Perimbangan atau Pemborosan?

Transaksi alutsista antara AS dan Arab Saudi pada 2017 menjadi yang terbesar dalam sejarah kerja sama dua negara. Meskipun memiliki tujuan konkret —mengimbangi kekuatan Iran di Timur Tengah, agaknya transaksi tersebut terkesan menjadi pemborosan anggaran.

Alfin Febrian Basundoro
8 min readApr 26, 2020
Kesepakatan perdagangan senjata AS-Saudi bernilai lebih dari US$110 miliar.

Pada 20 Mei 2017, Donald Trump dan Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud menyepakati sebuah transaksi persenjataan sebesar US$110 miliar dengan opsi pengembangan pembelian hingga US$350 miliar di waktu mendatang. Secara spesifik, alutsista yang dibeli Arab Saudi dari Negeri Paman Sam tersebut mencakup alutsista dari seluruh matra militer — darat, laut, dan udara. Tak luput, aneka teknologi pendukung peperangan siber juga terjual kepada Negeri Petrodolar tersebut, sebagimana dinyatakan oleh M.K. Linge dalam New York Post. Kesepakatan perdagangan alutsista tersebut menjadi lanjutan dari negosiasi yang tertahan pada 2016 — melibatkan rezim Obama — dengan nilai sebesar US$115 miliar, namun batal akibat tindakan ofensif Arab Saudi di Yaman yang dinilai rezim Obama sebagai penyalahgunaan kekuatan militer.

Transaksi persenjataan tersebut agaknya sukses, seiring dengan kedekatan Donald Trump dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman — yang juga menjabat Menteri Pertahanan Arab Saudi sejak 2015. Agaknya, Arab Saudi berusaha meningkatkan kekuatan militernya dalam rangka mengimbangi Iran — dengan industri militernya — berhasil menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Timur Tengah dalam lima tahun terakhir. Anggaran pertahanan yang selangit — mencapai US$85 miliar pada 2017 menurut catatan International Institute of Strategic Studies— menjadi modal utama Saudi dalam transaksi tersebut. Meskipun hubungan Arab Saudi dan AS pernah mengalami fluktuasi, namun keduanya identik sebagai sekutu geopolitik di Timur Tengah — sejak Perang Teluk 1990.

Selain soal perimbangan kekuatan dengan Iran — yang semakin gencar melakukan ekspansi geopolitik, terdapat beberapa maksud dari transaksi masif kedua negara tersebut; pertama, bahwa Arab Saudi mengalami ancaman terorisme yang cukup pelik. ISIS — meskipun telah jauh melemah akibat mengalami berbagai kekalahan sejak 2016, masih menjadi ancaman nyata bagi Saudi. Sebagai negara Islam, keberadaan ISIS tentunya dapat menjadi pemicu kalangan tertentu di negeri tersebut untuk melakukan tindak terorisme. Tak hanya ISIS, kelompok teror sejenis macam Al-Qaeda juga masih menebar ancaman di wilayah Saudi. Kedua, adalah politik ofensif Saudi dalam menghadapi Al-Houthi. Kelompok yang diduga kuat disokong Iran tersebut sejak 2015 menjadi target utama operasi militer Saudi di Yaman. Faktor ketiga, adalah ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah — membuat Arab Saudi harus senantiasa waspada akan segala risiko. Apalagi, Rusia yang notabene rival AS telah lama bercokol di Suriah dan semakin meningkatkan dukungannya terhadap rezim Assad.

F-15SA, seri pesawat tempur terbaru Arab Saudi

Setelah tiga tahun berlalu, Saudi seharusnya telah menerima berbagai alutsista yang disepakati dalam transaksi 2017 dari AS. Namun, agaknya kenyataan jauh panggang daripada api — Saudi belum juga memperoleh kemenangan signifikan, terutama dalam menghadapi Al-Houthi. Justru, operasi militer Saudi di Yaman tak kunjung mencapai titik akhir, sementara proksi-proksi Saudi seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain pula tak memperoleh hasil yang signifikan. Di samping itu, Iran makin menjadi-jadi dengan melakukan provokasi militer di Selat Hormuz, mengirim pasukan Korps Penjaga Revolusi Islam ke Suriah, hingga mengembangkan berbagai alutsista modern — secara mandiri. Apakah kesepakatan pembelian alutsista dengan AS merupakan strategi perimbangan kekuatan yang ideal bagi Saudi atau hanya sekadar pemborosan — untuk menciptakan “gertak sambal” terhadap Iran?

Operasi militer Saudi di Yaman menjadi salah satu isu krusial yang mendorong transaksi tersebut. Tujuan utama Saudi adalah mengembalikan kedaulatan Yaman ke tangan rezim Abd Rabbuh Mansur Hadi yang digulingkan oleh milisi tersebut di tahun yang sama. Berhasil mengumpulkan dukungan dari sejumlah negara sekutu dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) — minus Qatar yang hanya terlibat hingga 2017, Saudi melancarkan serangan pertamanya pada 26 Maret 2015 dengan sandi Operasi Decisive Storm dengan target kota-kota strategis Yaman. Operasi lanjutan kemudian dimulai sebulan kemudian dengan tujuan menghancurkan kekuatan Al-Houthi di seluruh Yaman — bersandi Operasi Restoring Hope — masih berlangsung hingga April 2020. Total hampir 200.000 personel militer dari sepuluh negara terlibat dalam dua operasi di atas, ditambah lebih dari 300 pesawat tempur — termasuk pesawat tempur baru Saudi dari AS.

Sekalipun memiliki kekuatan yang lebih masif dibanding Al-Houthi, ditambah alutsista yang canggih dan “masih bau toko”, hingga kini Al-Houthi masih menguasai ibu kota Sana’a, mempertahankan status quo sebagai penguasa nasional, dan menduduki sepertiga wilayah Yaman. Kelompok yang diduga kuat didukung Iran tersebut mampu melakukan serangan balasan ke wilayah Saudi dengan target kilang minyak di Abqaiq dan Khurais pada 2019 lalu, juga serangan rudal ke sejumlah kota di negara tersebut. Bahkan, pada Novermber 2019, dalam sebuah baku tembak yang terjadi di perbatasan Yaman-Arab Saudi, Al-Houthi berhasil memaksa pasukan Saudi menyerah — dengan 500 korban jiwa, sementara 2000 pasukan ditangkap. Kondisi di atas merupakan paradoks, mengingat selain menerjunkan ratusan ribu pasukan infantri dengan segala perlengkapannya, dukungan berupa serangan udara oleh AU Saudi tidak putus dilakukan hingga kini.

Dampak serangan udara Saudi di Yaman

Tulisan ini juga berusaha menganalisis bahwa terdapat berbagai faktor yang menjadikan transaksi alutsista antara AS dan Saudi — pada 2017 atau sebelumnya — hanya akan menjadi pemborosan belaka. Pertama, transaksi tersebut tidak diiringi dengan pelatihan atau peningkatan kemampuan tempur para prajurit Saudi. Kali terakhir militer Saudi terlibat dalam peperangan fisik adalah lebih dari dua dekade yang lalu, pada Perang Teluk 1990–1991, sehingga pengalaman tempur militer Saudi dapat dikatakan minim. Ditambah lagi, Saudi kerap gagal menghadapi serangan teror yang seharusnya dapat diatasi dengan waktu relatif singkat.

Kurangnya pengalaman tempur Arab Saudi tersebut berdampak pada performa mereka di Yaman. Sekalipun menerima berbagai persenjataan terbaru dari AS — terutama matra darat dan udara, Saudi kerap mengalami kebuntuan dalam pertempuran dan gagal menghadapi strategi yang inkonvensional yang kerap dilakukan para milisi. Bayangkan saja, dalam lima tahun operasi, jumlah pasukan Saudi yang tewas di Yaman mencapai 3.500 jiwa dan 25 pesawat berhasil dijatuhkan Al-Houthi. Selain itu, serangan udara Saudi kerap salah sasaran — menyasar fasilitas umum, warga sipil, dan pemukiman. Sebagai contoh — pada 2018, sebuah bom Mk-82 jatuh di atas sebuah bus sekolah dan menewaskan lebih dari 50 anak-anak. Padahal, bom tersebut rencananya akan digunakan untuk menghancurkan kamp-kamp pelatihan Al-Houthi tak jauh dari bus tersebut. Hingga kini, hampir 20.000 warga sipil tewas akibat serangan udara Saudi.

Kedua, adalah kurang berkembangnya industri pertahanan domestik Saudi. Dibanding Iran yang memiliki lima industri militer di setiap matra dan memproduksi alutsista beragam — mulai persenjataan ringan hingga kapal perang dan peluru kendali, industri domestik Saudi dapat dikatakan “tidak ada apa-apanya”. Hingga kini, hanya terdapat satu induk industri militer di negara tersebut, yaitu Saudi Arabian Military Industries yang baru berdiri pada 2017 dengan beberapa industri pertahanan yang lebih kecil. Produk yang dihasilkan oleh industri tersebut sebatas senjata api ringan dan kendaraan infantri. Agaknya, jauh lebih baik apabila Saudi — dengan transaksi tersebut — juga melakukan transfer teknologi dan pelatihan sumber daya manusia guna mengembangkan industri pertahanan domestik. Hal ini penting untuk menciptakan militer yang tak hanya canggih, namun juga berkelanjutan.

Terminal High-Altitude Area Defence (THAAD)

Ketiga, Arab Saudi tidak melakukan pengukuran kekuatan dengan baik — guna mengimbangi kekuatan Iran. Padahal, negara yang ingin melakukan perimbangan kekuatan secara signifikan juga perlu mengukur kekuatannya sendiri sekaligus kekuatan negara-negara di sekitarnya. Arab Saudi sendiri berada pada peringkat ke-17 dari 138 negara dalam Global Firepower Index pada 2019, sementara Iran tiga angka lebih tinggi. Padahal, alutsista Negeri Mullah sebagian besar mencapai usia uzur dan kerap mengalami kekurangan suku cadang akibat embargo militer. Alhasil, Iran hanya mengandalkan sumber daya manusia dan ekspansi militer. Selain Iran, di sekeliling Saudi terdapat Irak, Suriah, dan Israel yang ketiganya juga berpeluang menjadi rival. Ketiga negara tersebut juga merupakan aliansi dari kekuatan adikuasa di dunia — Rusia, Tiongkok, dan AS — juga perlu menjadi pertimbangan para perencana kebijakan pertahanan Arab Saudi. Operasi intelijen yang kompleks kiranya dapat menjadi solusi untuk mengukur kekuatan negara di sekitar, mengingat dilema keamanan di Timur Tengah belakangan menjadi semakin rumit, menuntut diadakannya perimbangan kekuatan yang seefisien mungkin.

Agaknya, transaksi besar ini belum membuahkan hasil yang optimal bagi Arab Saudi — setidaknya hingga kini. Dengan semakin kompleksnya isu keamanan di Timur Tengah, Arab Saudi perlu mengambil langkah yang lebih berkelanjutan untuk memanfaatkan sumber daya pertahanannya — baik keuangan, manusia, maupun alutsista. Sekalipun merupakan sekutu utama AS, namun Arab Saudi kiranya tidak dapat selamanya bergantung pada Negeri Paman Sam tersebut. Kecanggihan alutsista bukanlah segala-galanya; justru kemandirian sumber daya menjadi faktor yang krusial dalam menghadapi isu keamanan regional sekaligus meningkatkan kualitas pertahanan.

Referensi

Amin, Abu. “Crisis in Yemen and Countering Violence.” Counter Terrorist Trends and Analyses 7, no. 7 (2015): 18–22.

“Comparison Results (Saudi Arabia vs Iran).” Diakses 26 April 2020. https://www.globalfirepower.com/countries-comparison-detail.asp?form=form&country1=saudi-arabia&country2=iran&Submit=COMPARE.

DARWICH, MAY. “The Saudi Intervention in Yemen: Struggling for Status.” Insight Turkey 20, no. 2 (2018): 125–42.

“Donald Trump to announce $350bn arms deal with Saudi Arabia — one of the largest in history | The Independent.” Diakses 19 Maret 2020. https://www.independent.co.uk/news/world/americas/us-politics/trump-saudi-arabia-arms-deal-sale-arab-nato-gulf-states-a7741836.html.

editor, Patrick Wintour Diplomatic. “Houthis Claim to Have Killed 500 Saudi Soldiers in Major Attack.” The Guardian, 29 September 2019, bag. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/sep/29/houthis-claim-killed-hundreds-saudi-soldiers-captured-thousands.

Gould, Joe. “US Senate Allows Arms Sales to Saudi Arabia, Sustaining Trump Vetoes.” Defense News, 30 Juli 2019. https://www.defensenews.com/congress/2019/07/29/us-senate-allows-arms-sales-to-saudi-arabia-sustaining-trump-vetoes/.

“Military Spending: The Other Side of Saudi Security.” Diakses 25 April 2020. https://www.csis.org/analysis/military-spending-other-side-saudi-security.

News, A. B. C. “The Truth about President Trump’s $110 Billion Saudi Arms Deal.” ABC News. Diakses 24 April 2020. https://abcnews.go.com/International/truth-president-trumps-110-billion-saudi-arms-deal/story?id=47874726.

“Obama Administration Arms Sales Offers to Saudi Top $115 Billion: Report.” Reuters, 7 September 2016. https://www.reuters.com/article/us-usa-saudi-security-idUSKCN11D2JQ.

Rubin, Uzi. “Iran Flexes Its Missile Muscles.” Begin-Sadat Center for Strategic Studies, 2017. JSTOR. https://www.jstor.org/stable/resrep04418.

Staff, Our Foreign. “Saudi Arabia Blames Yemen’s Houthi Rebels after Missiles Fired at Riyadh and Jizan.” The Telegraph, 29 Maret 2020. https://www.telegraph.co.uk/news/2020/03/29/saudi-arabia-blames-yemens-houthi-rebels-missiles-fired-riyadh/.

The Military Balance. International Institute of Strategic Studies, 2019.

Walsh, Declan, dan Eric Schmitt. “Arms Sales to Saudis Leave American Fingerprints on Yemen’s Carnage.” The New York Times, 25 Desember 2018, bag. World. https://www.nytimes.com/2018/12/25/world/middleeast/yemen-us-saudi-civilian-war.html.

--

--

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet