Kecerobohan Trump di Irak dan Peluang Terjadinya ‘Perang Dunia Ketiga’

Alfin Febrian Basundoro
10 min readJan 5, 2020

--

Mayor Jenderal Qasem Soleimani di antara para perwira militer Iran.

Amerika Serikat (AS) baru saja melakukan tindakan retaliasi terbarunya terhadap Iran dengan serangan udara terhadap seorang tokoh militer negara tersebut, Mayor Jenderal Qasem Soleimani pada 2 Januari 2020. Posisinya yang cukup mentereng sebagai panglima pasukan Quds yang berada di bawah komando Korps Pengawal Revolusi Islam (Sepah Pasdaran Enghelab-e-Eslami) membuat kematian Soleimani tentu mengejutkan banyak pihak, terutama Pemerintah Iran sendiri. Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran mengutuk tindakan tersebut, diikuti oleh segenap jajaran Pemerintah Iran. Tak sampai di situ, kepanikan terjadi di dunia maya akibat serangan tersebut. Masyarakat keburu menilai bahwa serangan AS tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya ‘Perang Dunia Ketiga’, bercermin dari beberapa perang di abad lampau yang terpantik akibat terbunuhnya seorang tokoh penting suatu negara.

Serangan udara tersebut menjadi keruntuhan baru dalam hubungan AS-Iran — yang sejak lama memang telah buruk. Presiden AS, Donald Trump, dikabarkan menjadi satu-satunya otak serangan udara tersebut. Ia bahkan diketahui tak membicarakan rencana tersebut kepada Kongres AS. Ia seolah ingin mengawali dasawarsa 2020-an dengan sensasi, sebagaimana yang kerap ia lakukan dalam berbagai kesempatan sebelumnya, di mana ia kerap mengeluarkan pernyataan dan kebijakan kontroversial. Namun, kali ini, keputusannya amat mungkin berakibat fatal. Pasalnya, dengan tewasnya Soleimani, amat mungkin bagi Iran untuk melakukan balas dendam terhadap AS. Perang proksi yang melibatkan kedua negara tersebut semakin jauh dari kata usai dan berpeluang besar untuk semakin memanas.

Presiden Donald Trump dikabarkan memutuskan sendiri serangan udara tersebut.

Tindakan Trump tersebut tentu saja merupakan tindakan yang gegabah dan irasional. Ibaratnya, ia telah menabuh genderang perang terlalu cepat. Ia memutuskan serangan secara sepihak tanpa melalui proses pengambilan keputusan secara komprehensif dan penuh perhitungan. Tak heran apabila banyak pihak yang menyayangkan keputusan tersebut, termasuk beberapa politisi Partai Republik sendiri yang notabene merupakan partai pendukung Trump. Trump sendiri menuduh Soleimani sebagai “pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kematian ribuan rakyat AS, secara langsung maupun tak langsung”. Ia juga menuding Sang Jenderal sebagai aktor yang merencanakan serangan teror terhadap AS dan menjadi pihak utama yang mengancam kepentingan AS di Timur Tengah.

“Jenderal Qasem Soleimani telah membunuh dan melukai banyak warga AS dalam waktu yang cukup lama, serta merencanakan untuk menimbulkan lebih banyak korban, dan akhirnya ia menerima akibatnya. Ia telah secara langsung dan tak langsung bertanggung jawab terhadap kematian jutaan orang…”

Donald Trump, dalam Twitter-nya, 3 Januari 2020

Apabila ditilik dari reaksi masyarakat di media sosial, keputusan tersebut juga bukanlah keputusan yang populer. Buktinya, berbagai cuitan yang mengundang kecemasan akan dimulainya perang dunia baru terus bermunculan. Banyak di antaranya yang menuding Trump dan Pemerintah AS sebagai pihak pemantik perang dunia baru tersebut apabila benar terjadi. Tentu hal ini dapat berdampak buruk terhadap reputasi AS sendiri, di mana AS akan semakin dipandang secara luas sebagai ‘warmonger’, negara gila perang. Padahal, pada kasus sebelumnya, label tersebut telanjur disematkan kepada AS setelah Perang Teluk, invasi ke Irak dan Afghanistan, serta serangan udara di Libya.

Mengapa keputusan Trump untuk melakukan serangan udara terhadap Qasem Soleimani dapat berakibat fatal dan berbahaya bagi AS sendiri? Pertama, Trump tidak melakukan proyeksi dan perhitungan terhadap kekuatan militer AS di Timur Tengah. Sejak Presiden Barack Obama memutuskan untuk mengakhiri operasi militer di Irak pada 2011, pasukan militer AS yang bercokol di negara tersebut sejak Invasi 2003 dikurangi secara bertahap. Dengan jumlah berkisar pada angka 200.000 personel pada 2004, pasukan AS yang masih bertahan pada akhir 2018 hanya berjumlah 5.600 personel, dengan tujuan utama sebagai pengawal aset-aset penting AS seperti kedutaan besar serta untuk menumpas ISIS dan kelompok-kelompok teror lainnya. Jumlah tersebut tentunya tak ideal apabila digunakan untuk menghadapi peperangan simetris, apabila Iran kemudian mengambil langkah radikal dengan melakukan serangan berskala penuh (full-scale warfare) terhadap aset-aset AS di kawasan tersebut.

Pengiriman pasukan tambahan dalam jumlah besar guna menghadapi situasi demikian pun memakan waktu dan biaya yang tak sedikit. Belum lagi, pengorganisasian pasukan dalam jumlah besar dapat menyulitkan AS sendiri apabila ingin mendapat momentum kemenangan di awal pertempuran menghadapi Iran. Personel yang baru hadir tentu memerlukan penyesuaian medan dan kondisi pertempuran sebelum menghadapi perang yang ‘sebenarnya’. Sebagai perbandingan, setelah Kongres AS melegalkan keputusan Presiden George W. Bush untuk melakukan invasi ke Irak pada Oktober 2002, militer AS sendiri membutuhkan waktu lebih kurang enam bulan untuk mempersiapkan segala hal hingga seluruh pasukan diterjunkan dan perang dimulai pada Maret 2003. Perlu diketahui bahwa AS sendiri kala itu mendapat asistensi signifikan dari negara-negara sekutunya, seperti Inggris, Australia, dan Polandia.

Dengan asumsi bahwa kedua negara akan bertempur dalam pertempuran yang simetris dan berskala penuh sebagaimana Invasi 2003, apabila membandingkan situasi geopolitik dan geostrategi Irak dan Iran, kedua negara memiliki perbedaan kekuatan yang cukup signifikan. Kekuatan militer Irak pada invasi 2003 dapat dikatakan ‘pincang’. Ekonomi Irak belum pulih pasca-Perang Teluk 1990–1991 yang mengakibatkan anggaran militer negara tersebut seret. Irak tak mampu membeli alutsista dalam jumlah besar sehingga mesti bergantung pada alutsista berusia tua sisa-sisa Perang Teluk atau bahkan era Perang Dingin. Pun, Irak pula menghadapi serangkaian sanksi internasional yang menghambat kemajuan militernya, termasuk embargo ekonomi yang menghalangi Irak untuk mengekspor produk-produknya.

Kedua, berkaitan dengan poin sebelumnya, Trump tak melakukan langkah-langkah pelemahan secara signifikan terhadap posisi Iran, baik secara geopolitik-geostrategis dan secara diplomatik. Padahal, pelemahan tersebut penting dalam konsep dilema keamanan, untuk menjaga keunggulan strategis AS atas Iran. Trump memang telah mempertahankan sanksi-sanksi ekonomi terhadap Iran dan mampu mengakibatkan guncangan ekonomi, di antaranya inflasi yang baru-baru ini memicu terjadinya kerusuhan di sejumlah kota besar di negara tersebut. Namun, sanksi tersebut belum cukup. Iran telah mampu mengembangkan kapabilitas militernya secara mandiri meskipun menghadapi sanksi bertubi-tubi. Sanksi tersebut terkesan sia-sia apabila menilik dari bagaimana Iran terus mengembangkan dan memamerkan berbagai alutsista terbaru mereka dalam berbagai ajang.

Trump sendiri juga belum melakukan ancaman terhadap sekutu-sekutu Iran secara nyata atau menggiring mereka dalam ‘jebakan diplomatik’ di forum-forum internasional seperti PBB. Usaha persuasi yang dapat pula seharusnya dilakukan AS dalam rangka memutus asistensi asing terhadap Iran juga absen. Pun, tak ada pembicaraan-pembicaraan krusial antara Trump dengan aparat pengambil kebijakan dan para petinggi militer AS terkait dengan perkembangan terkini di Timur Tengah. Akibatnya, meskipun Iran melemah akibat serangkaian sanksi, sekutu-sekutu Iran masih dapat secara bebas memberikan asistensi terhadap Iran. Sebagai contoh, Iran masih mampu membeli alutsista dari Cina dan Rusia meskipun disanksi oleh AS, juga Iran rupanya masih dapat berbisnis dengan beberapa negara Eropa yang notabene sekutu AS. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pelemahan yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin suatu negara dalam rangka meraih keunggulan atas negara lain tidak berhasil. Alih-alih melakukan tindakan yang strategis dan rasional, Trump justru secara frontal memutuskan untuk melakukan tindakan yang dapat memicu backlash secara masif dan mencoreng mukanya sendiri.

Keputusan serangan udara tersebut juga tak didahului dengan pendekatan terhadap negara-negara sekutu AS di Timur Tengah. Hal tersebut membuat strategi two-level games AS di Timur Tengah layak untuk dipertanyakan. Pasalnya, serangan terhadap target-target ‘kelas kakap’ sebagaimana kali ini amat berisiko. Iran, meskipun hanya melayangkan ancaman balas dendam terhadap AS dan kepentingannya, namun amat mungkin bagi Negeri Mullah tersebut menjadikan sekutu AS di Timur Tengah sebagai target. Strategi tersebut kerap terjadi pada situasi perang proksi, di mana kedua pihak yang bertikai dapat menggunakan negara sekutu lawan sebagai ‘sarana’ untuk memberikan efek penggentar secara tak langsung. Masalahnya, Trump tak pernah berkoordinasi dengan negara-negara sekutu AS di kawasan seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, atau Israel yang notabene juga memiliki sentimen terhadap Iran, sehingga negara-negara tersebut mungkin saja menjadi target balas dendam Iran.

Apabila negara-negara tersebut menjadi korban, tentu akan menjadi kerugian besar bagi AS dalam mempertahankan pengaruh dan kepentingannya di Timur Tengah. Sebagai contoh, Arab Saudi menjadi salah satu penyuplai minyak terbesar AS. Selain itu, sebagian negara tersebut juga menjadi lokasi basis militer AS di Timur Tengah sejak Perang Teluk. Tak dapat dipungkiri apabila keputusan sepihak tersebut dapat merusak hubungan AS dengan sekutunya apabila Iran kemudian melanjutkan perang proksi dan melakukan tindakan ofensif terhadap negara sekutu AS. Pemimpin negara-negara tersebut dapat menuduh Trump dan AS sebagai negara yang membiarkan sekutunya menjadi korban serangan musuh, yang dapat membahayakan posisi Trump sendiri. Peluang AS untuk mengambil keuntungan dari kemungkinan dibentuknya aliansi guna menghadapi Iran secara fisik dapat tertutup. Padahal, pembentukan aliansi politik menjadi krusial untuk melakukan konsolidasi secara politik dan ‘menyamakan pandangan’ guna membentuk strategi menghadapi ancaman Iran dan sekutu-sekutunya.

Tak sampai di situ, berkaitan dengan perang proksi Iran-AS pula, keputusan Trump tak memperbaiki keadaan. Diawali dengan penarikan mundur AS dari Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA) pada 2018 lalu, gelagat AS di bawah Trump semakin menunjukkan tindakan permusuhan terhadap Iran— yang sayangnya tak didukung dengan perhitungan yang matang. Dengan penarikan AS dari JCPOA, praktis Iran dapat lebih leluasa melakukan pengayaan uranium yang berarti peluang pengembangan senjata nuklir semakin terbuka. Ditambah dengan serangan udara tersebut, maka Trump mesti mempersiapkan diri apabila kemudian Iran melakukan tindakan yang tak terduga dan berbahaya terhadap AS — dan kepentingannya di Timur Tengah lebih cepat.

Lantas, apa kaitan serangan udara terhadap Soleimani yang juga menewaskan beberapa petinggi milisi Syiah tersebut terhadap peluang terjadinya ‘Perang Dunia Ketiga’? Serangan udara tersebut memang menghebohkan jagat maya, terutama karena korban serangan udara tersebut notabene merupakan elite politik Iran, negara musuh bebuyutan AS. Spekulasi mengenai Perang Dunia Ketiga muncul akibat situasi hubungan AS-Iran yang terus memanas dan kemungkinan terjadinya ekskalasi konflik. Selain itu, Iran dipandang memiliki segalanya untuk terlibat dalam perang dunia — apabila terjadi: pasukan militer berjumlah besar, sumber daya manusia yang memadai, kekuatan militer yang cukup kuat di kawasan, industri pertahanan independen, medan yang menguntungkan, peluang menciptakan senjata nuklir, serta sekutu yang sebanding dengan AS. Tak hanya itu, dari faktor nonteknis, Iran memiliki penduduk dengan semangat juang yang edan — mereka rela mati demi Ayatollah dan Syiah, terbukti dengan keberadaan pasukan paramiliter Basij dan bagaimana mereka bertempur ketika Perang Irak-Iran 1980–1988. Menarik untuk diperhatikan lebih lanjut.

Namun, apakah Perang Dunia Ketiga dapat semudah itu terjadi? Tentu saja tidak. Pertama, dinamika politik internasional dalam dasawarsa terakhir jelas berbeda dengan era perang dunia sebelumnya. Kini tak ada pemimpin yang memiliki ambisi sebesar Adolf Hitler atau seganas Josef Stalin yang dapat menggerakkan negaranya sebagaimana Nazi Jerman dan Uni Soviet kala itu. Politik ekspansionisme telah lama dianggap ‘tamat’, dengan pertimbangan bahwa tak ada lagi polarisasi dunia yang memungkinkan adanya persaingan pengaruh secara masif, sebagaimana yang terjadi ketika Perang Dunia Kedua dan Perang Dingin. Ditambah, nilai-nilai hak asasi manusia, kemerdekaan, dan usaha menciptakan perdamaian abadi sebagai ‘satu masyarakat dunia’ telah merasuk dalam kehidupan masyarakat internasional. Perang, sejak 1980-an telah dipandang sebagai peristiwa yang merugikan banyak pihak, mengerikan, menciptakan kehancuran, dan merusak tatanan secara masif.

Keberadaan PBB, meskipun dipandang skeptis oleh sebagian ahli, tetap memberikan pengaruh signifikan bagi tatanan politik internasional. PBB berusaha menciptakan kondisi supaya perang tak menjadi pilihan bagi negara-negara anggotanya dengan berbagai cara. Lembaga-lembaga PBB memiliki tujuan yang berorientasi pada usaha tersebut. Adanya berbagai lembaga arbitrasi internasional ditambah sederet aturan-regulasi mengenai perang dan perdamaian pula masih mampu mencegah negara-negara untuk bertindak ofensif terhadap negara lain, apalagi terlibat dalam perang dunia yang baru. Ini tentu berbeda dengan situasi perang dunia sebelumnya, di mana lembaga-lembaga yang berkuasa mencegah perang dan secara komprehensif mengusahakan perdamaian dunia absen. Kala itu bahkan tak ada aturan yang benar-benar mengikat suatu negara, begitu pula dengan keberadaan sanksi internasional sebagaimana diterapkan saat ini.

Dewan Keamanan PBB

Hubungan ekonomi internasional yang saling terkoneksi juga menjadi faktor penting yang membuat ‘Perang Dunia Ketiga’ tak begitu saja terjadi. Pemerintah negara-negara dunia kini cenderung pragmatis dalam membentuk hubungan dengan negara lain. Mereka menginginkan iklim kerja sama yang baik dalam rangka mencari keuntungan sebanyak mungkin: pertumbuhan ekonomi, keamanan fiskal, dan pemenuhan kebutuhan sumber daya. Aspek-aspek tersebut tak mungkin didapat apabila negara berprinsip autarki (bergantung pada kemampuan sendiri). Perang secara fisik dalam skala masif sebagaimana perang dunia tentu akan sangat merugikan secara ekonomi. Pembangunan mandek, pertumbuhan ekonomi praktis tak jalan, aset-aset negara hancur, sementara tenaga kerja yang menggerakkan ekonomi pula akan berkurang.

Tentu bukan hal mudah menghadapi situasi sebagaimana saat ini. Apalagi, AS dan Iran telah ‘pasang kuda-kuda’ untuk saling berhadapan satu sama lain. Potensi terjadinya konflik yang lebih besar tentu saja cukup signifikan, mengingat Iran telah berkali-kali melayangkan ancaman kepada dunia untuk membalas dendam AS. Meskipun begitu, memulai perang dalam skala masif tak semudah membalik telapak tangan. Banyak aspek yang menjadi pertimbangan negara-negara yang akan terlibat. Belum lagi, peran masyarakat sipil yang semakin meluas pula dapat mempengaruhi keputusan negara-negara tersebut, semoga.

Referensi

Abdo, Geneive. “Iraq Prepares to Evict U.S. Troops.” Foreign Policy (blog). Diakses 5 Januari 2020. https://foreignpolicy.com/2019/03/20/iraq-prepares-to-evict-u-s-troops/.

Breuninger, Amanda Macias, Kevin. “Trump Says US Does Not Seek War or Regime Change in Iran, but Is Still Ready to Act If ‘Necessary.’” CNBC, 3 Januari 2020. https://www.cnbc.com/2020/01/03/trump-to-make-a-statement-following-fatal-strike-on-iran-general.html.

Doyle, Liam. “World War 3: Is World War 3 Happening? Has WW3 Been Declared?” Express.co.uk, 5 Januari 2020. https://www.express.co.uk/news/world/1223901/World-War-3-is-world-war-three-happening-WW3-declared-Donald-Trump-Iran.

Kahl, Colin. “Trump Is Playing With Fire in the Middle East.” Foreign Policy (blog). Diakses 5 Januari 2020. https://foreignpolicy.com/2020/01/04/trump-is-playing-with-fire-in-the-middle-east/.

Telhami, Shibley. “The U.S. Public Still Doesn’t Want War With Iran.” Foreign Policy (blog). Diakses 5 Januari 2020. https://foreignpolicy.com/2020/01/03/killing-suleimani-iran-tension-trump-fault/.

“The Killing of Gen. Qassim Suleimani: What We Know Since the U.S. Airstrike.” The New York Times, 3 Januari 2020, bag. World. https://www.nytimes.com/2020/01/03/world/middleeast/iranian-general-qassem-soleimani-killed.html.

“US-Iran escalation looms after Soleimani killing: Latest updates.” Diakses 5 Januari 2020. https://www.aljazeera.com/news/2020/01/soleimani-funeral-iran-latest-updates-200105053715338.html.

“White House Notifies Congress of Soleimani Strike under War Powers Act.” Diakses 5 Januari 2020. https://www.cbsnews.com/live-updates/qassem-soleimani-top-iranian-military-commander-killed-in-u-s-airstrike-in-baghdad-2020-01-04/.

--

--

Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro

Written by Alfin Febrian Basundoro

Student of Master of Strategic Studies, Bell School ANU

No responses yet