Intervensi Asing dalam Perang Saudara Libya: Jalan Panjang Menuju Perdamaian
Oleh: Alfin Febrian Basundoro
Versi asli dapat dibaca di https://medium.com/@fpciugm/intervensi-asing-dalam-perang-saudara-libya-jalan-panjang-menuju-perdamaian-3a2028852d2f
Maraknya wabah COVID-19 yang menghebohkan dunia dalam setengah warsa terakhir agaknya tidak mengubah situasi di Libya. Negara yang didera perang saudara sejak 2014 tersebut masih jauh dari kata stabil, di mana faksi-faksi yang berebut kekuasaan masih beradu kekuatan di medan pertempuran. Baru-baru ini, pasukan Faksi Pemerintah berhasil mengambil alih sejumlah besar kota yang dahulu dikuasai Tentara Nasional Libya berkat asistensi dari militer Turki (Traina, 2020) . Akibatnya, Tentara Nasional Libya yang sedang berusaha merebut Tripoli harus tertahan dan bahkan terpaksa mundur untuk menghindari kehancuran yang lebih besar.
Sejak berkobar pada tahun 2014 lalu, hingga kini setidaknya terdapat dua faksi besar yang saling berhadapan dalam perang saudara tersebut, (1) faksi Dewan Perwakilan Rakyat yang diperkuat Tentara Nasional Libya pimpinan Jenderal Khalifa Haftar; dan (2) faksi Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) — atau kerap disebut ‘Faksi Pemerintah’ — yang diketuai Perdana Menteri Fayez al-Sarraj. Keduanya mengklaim diri sebagai pewaris kekuasaan mendiang Muammar Khadafi yang tewas pada 2011 silam dalam Revolusi Libya seiring dengan kekosongan pemerintahan di negara tersebut. Satu faksi lainnya — Kongres Umum Nasional (GNC) yang didukung kalangan Islamis — bubar pada 2017 seiring kekalahannya dari GNA (Kekilli, 2017) .
Kedua kubu yang didukung oleh berbagai kekuatan asing justru membuat konflik semakin runyam. Terlebih, banyak di antara pihak-pihak asing tersebut yang memiliki urusan geopolitik yang berlawanan — semisal antara Rusia dengan Turki. Pasukan Khalifa Haftar, misalnya memperoleh dukungan dari Mesir, Rusia, dan Uni Emirat Arab dan sejumlah milisi lokal (Bachir, 2017) . Faksi ini menguasai sejumlah besar bagian timur dan selatan Libya (Cirenaica dan Fezzan) dengan pusat kekuatan di Tobruk. Di sisi lain, GNA yang merupakan pemerintahan sah — diakui secara global oleh PBB — bermarkas di Tripoli dan berusaha menggandeng seluruh kalangan di Libya untuk membentuk suatu pemerintahan bersatu. Faksi ini didukung oleh Turki, Qatar, dan baru-baru ini, Uni Eropa (UE). Masuknya UE ke dalam perang sipil Libya taklain adalah akibat pendekatan Fayez al-Sarraj kepada organisasi supranasional tersebut sejak tahun 2017 (Libya Express, 2017) . Kendati memiliki wilayah yang lebih kecil, kerap terdesak dalam pertempuran, dan kurang mendapat sokongan militer sebagaimana faksi Tobruk, GNA mampu mempertahankan pengakuan internasional sebagai pemegang kekuasaan yang sah atas Libya.
Walaupun sejumlah usaha perdamaian dan perundingan telah dilaksanakan antara kedua kubu di atas — ditambah beberapa proposal pembentukan pemerintahan bersatu, penyelesaian konflik di Libya baru sebatas gencatan senjata. Perdamaian konkret justru semakin jauh panggang dari api — akibat campur tangan berbagai pihak asing dengan dalih “stabilisator”. Bahkan, keterlibatan UE — yang digadang-gadang sebagai mediator perdamaian bagi
Libya — bukan takmungkin pula justru memperpanjang konflik di negeri penghasil minyak tersebut. Terdapat sejumlah faktor yang menjadikan maraknya intervensi asing di Libya — yang justru mengacaukan proses resolusi konflik di negara tersebut.
- Keberadaan minyak bumi dan gas alam
Libya merupakan negara penghasil minyak dan gas bumi, serta merupakan negara dengan cadangan minyak bumi terbesar di Afrika. Tercatat pada 2016 oleh Energy Information Administration, cadangan minyak Libya mencapai 48 miliar barel per tahun — terbesar kesembilan di dunia. Terdapat pula 1,5 miliar meter kubik cadangan gas bumi (OPEC, 2018) , menjadikan Libya sebagai negara yang berdikari dalam sektor energi — didukung oleh populasi yang minim. Takayal, Libya juga menjadi negara ladang investasi di sektor tersebut, yang mana terdapat sejumlah perusahaan minyak asing yang beroperasi di Libya.
Periode transisi pasca-Revolusi 2011 menyebabkan ketiadaan kontrol atas ladang-ladang minyak dan gas Libya, menjadikan peluang perebutan antarfaksi semakin tinggi. Seiring minyak dan gas masih menjadi sumber energi utama sejumlah negara, penguasaan suatu pihak atas ladang-ladang tersebut akan menjadi keuntungan geopolitik dan ekonomi tersendiri. Perancis merupakan negara yang amat berpeluang menggunakan minyak bumi sebagai landasan intervensi. Negara tersebut mendukung Khalifa Haftar — dengan dalih “memburu teroris”, namun sejatinya, berkeinginan agar Total — perusahaan migas negara tersebut — menguasai sejumlah ladang minyak kunci di Libya (Taylor, 2019) . Di sisi lain, Perancis juga merupakan anggota Uni Eropa yang secara tegas mendukung GNA dan terus menyuarakan penghentian konflik. Kepentingan kedua pihak yang saling berkelindan tersebut dapat menjadi persoalan tersendiri bagi proses perdamaian di Libya.
2. Kebangkitan kelompok teror
Kebangkitan kelompok teror di Timur Tengah — seperti ISIS dan Al Qaeda — membuka peluang bagi kekuatan asing untuk terlibat dalam konflik di Libya. Mesir, Uni Emirat Arab, hingga Arab Saudi menjadikan perburuan terhadap kelompok teror sebagai dalih intervensi — dengan mendukung Khalifa Haftar yang lebih kuat secara militer. Di sisi lain, kubu Fayez al-Sarraj pula berusaha melakukan perlawanan terhadap kelompok-kelompok teror tersebut (Mahshie, 2020) . Meskipun demikian, bukan berarti kedua kubu lantas bahu-membahu melawan kelompok teror tersebut; perbedaan pandangan kedua kubu mengenai siapakah “kelompok teror” seharusnya menjadi sumber pertentangan baru. Kubu Haftar sendiri berkali-kali menuding Fayez al-Sarraj sebagai “pendukung kelompok Islamis” disebabkan usahanya menggandeng kalangan Ikhwanul Muslimin dan kelompok konservatif Islam lainnya.
3. Perang proksi
Ketiadaan otoritas yang kuat di Libya menyebabkan negara tersebut menjadi target perang proksi antara berbagai kekuatan asing — sekaligus sebagai ladang perebutan status hegemoni regional. Turki dan Rusia menjadi kedua pihak yang saat ini paling getol memanfaatkan situasi tersebut dengan mendukung kedua pihak yang berlawanan di Libya. Padahal, keduanya hingga kini tengah terlibat dalam perang proksi lainnya di Suriah. Rusia dalam hal ini menggunakan kontraktor militer swasta — Grup Wagner — sebagai operator utama dalam mendukung kubu Haftar, sementara Turki melibatkan pasukan oposisi Suriah dan 35 perwira militer dalam operasinya mendukung Fayez al-Sarraj dengan dalih menjadi penyeimbang Rusia (McKernan & Akoush, 2020) . Kendati demikian, agaknya Uni Eropa justru kurang menerima kehadiran Turki di Libya dengan alasan akan berpotensi menjadikan Libya sebagai “Suriah kedua”.
Intervensi asing yang hingga kini masih terjadi di Libya membuat usaha resolusi konflik tak kunjung mencapai keberhasilan. Sekalipun telah terdapat sejumlah proposal perdamaian — sejak 2015 hingga Konferensi Berlin yang diinisiasi UE pada Januari lalu, progres perdamaian semakin kabur bahkan mengalami kemunduran. Agaknya, kekuatan asing sebagaimana analisis di atas — apabila benar-benar menginginkan perdamaian — perlu mempertimbangkan kembali urusan geopolitiknya di Libya atau warga sipil Libya-lah yang akan menjadi korban berkepanjangan dari krisis ini.
Referensi
Al-Serraj and Mogherini discuss more EU support for GNA. (2017, Januari 18). Libyan Express. https://www.libyanexpress.com/al-serraj-and-mogherini-discuss-more-eu-support-for-
gna/
Bachir, M. (2017). EXCLUSIVE: Russia’s secret plan to back Haftar in Libya. Middle East Eye. http://www.middleeasteye.net/news/exclusive-russias-secret-plan-back-haftar-libya
KEKİLLİ, E. (2017). Anatomy of the Libyan Crisis. Insight Turkey, 19(3), 159–180. JSTOR.
Mahshie, A. (2020, April 29). Russian presence in Libya more dangerous than ISIS, says US Africa Command. Washington Examiner. https://www.washingtonexaminer.com/policy/defense-national-security/russian-presence- in-libya-more-dangerous-than-isis-says-us-africa-command
McKernan, B., & Akoush, H. (2020, Januari 15). Exclusive: 2,000 Syrian fighters deployed to Libya to support government. The Guardian.
https://www.theguardian.com/world/2020/jan/15/exclusive-2000-syrian-troops-deployed- to-libya-to-support-regime
OPEC : Annual Statistical Bulletin. (2018).
https://www.opec.org/opec_web/en/publications/202.htm
Taylor, P. (2019, April 17). France’s double game in Libya. POLITICO.
https://www.politico.eu/article/frances-double-game-in-libya-nato-un-khalifa-haftar/
Traina, M. (2020, April 27). Turkey’s military helps turn the tide in Libyan civil war.
https://www.aljazeera.com/news/2020/04/turkey-military-helps-turn-tide-libyan-civil-
war-200427095209181.html
Originally published at https://medium.com on May 13, 2020.