Industri Aviasi Militer Rusia Pasca-Perang Dingin: Nasib MiG dan Sukhoi
Pesawat militer merupakan tulang punggung bagi militer sejumlah negara, terlebih negara berkekuatan mayor seperti Rusia. Meski demikian, sejak runtuhnya Uni Soviet, kekuatan udara negeri berjuluk Beruang Merah tersebut mengalami deklinasi, sebelum bangkit kembali pada 2010-an.
Usainya Perang Dingin menyebabkan dampak yang besar bagi kedua negara yang saling bertentangan kala itu — Uni Soviet dan Amerika Serikat. Uni Soviet yang kemudian ambruk dan pecah menjadi belasan negara merdeka, secara luas dianggap sebagai pihak pecundang dalam Perang Dingin, sementara lawannya, Amerika Serikat (AS) tetap perkasa dan menjadi ‘the sole superpower’ di dunia, setidaknya hingga permulaan milenial ketiga. Ambruknya Uni Soviet — yang selama lebih dari 70 tahun menjadi motor penggerak bagi ideologi komunisme di dunia — berakibat fatal bagi banyak sektor strategis di negara tersebut. Banyak perusahaan negara yang tak siap dalam menghadapi liberalisasi ekonomi besar-besaran berakhir pada kebangkrutan, tak peduli apapun sektor industrinya.
Hal tersebut terjadi pula pada industri kemiliteran di Rusia pada dasawarsa 1990-an. Tamatnya Perang Dingin berarti pengetatan anggaran militer, karena tak ada lagi ajang perlombaan kecanggihan alutsista. Perang proksi di negara-negara Dunia Ketiga kebanyakan juga usai, sementara Pemerintah Rusia sebagai suksesor Uni Soviet harus menghadapi setumpuk problematika domestik, mulai disintegrasi masyarakat hingga krisis ekonomi. Secara bertahap, anggaran militer Rusia mengalami penurunan drastis sepanjang 1990-an, hingga mencapai 95% dari anggaran militer pada puncak Perang Dingin. Pemerintah Rusia — khususnya Kementerian Pertahanan — kemudian tak lagi terlalu peduli akan pembaruan alutsista dan cenderung menggunakan suplai militer usang. Anggaran militer yang gila-gilaan pada puncak Perang Dingin — mencapai US$ 414 miliar pada 1987— dianggap pemerintah sebagai pemborosan bagi perekonomian negara. Nasib industri kemiliteran Rusia semakin tidak pasti — sebagian di antaranya harus jatuh ke jurang pailit atau dibubarkan secara massal oleh pemerintah dengan dalih restrukturisasi dan rasionalisasi.
Mikoyan-Gurevich (MiG) dan Sukhoi menjadi dua korporasi aviasi militer Rusia yang beruntung. Mereka tak sampai jatuh dalam jurang kebangkrutan atau dibubarkan pemerintah. Selain keduanya, Tupolev, Ilyushin, dan Yakovlev yang notabene lebih minor dari segi tenaga kerja dan struktur perusahaan juga dapat dikatakan ‘selamat’ dari kebangkrutan. Meskipun begitu, nasib mereka pasca Perang Dingin tak dapat dikatakan baik. Peter Rutland, dalam Putin’s Economic Record (2008) menyatakan bahwa jumlah pesanan dan produksi pesawat militer terus mengalami deklinasi, di mana pada 1991, mereka menangani 715 pesanan pesawat, turun menjadi lebih kurang 300 pesawat pada 1996, 54 pada 1998, dan hanya empat pesawat yang masuk lini produksi pada 2000.
Kondisi MiG dapat dikatakan kurang berhasil. Karena kurangnya pesanan pesawat tempur pada 1990-an, MiG harus berutang dalam jumlah begitu besar pada bank-bank nasional Rusia untuk mendukung operasional mereka. Berakhirnya Perang Dingin membuat pesawat-pesawat tempur penyergap supersonik macam MiG-31 yang menjadi andalan Uni Soviet pada masanya — 1970-an hingga akhir 1980-an — tak lagi diminati. Negara-negara bekas Blok Timur yang menjadi pasar andalan MiG hanya membutuhkan pesawat tempur multiperan (multirole fighter) macam MiG-29, sementara produk lainnya, seperti MiG-27 yang juga cukup berjaya kalah saing dengan Panavia Tornado yang merupakan produk Barat. Bahkan, sebagian negara bekas Blok Timur yang dahulu amat bergantung pada produk aviasi Uni Soviet juga mulai beralih ke produk Barat, seperti F-16, JAS-39 Gripen, dan Dassault Rafale.
Selain karena defisit dalam pendanaan, kurangnya inovasi ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran MiG usai Perang Dingin. Pada 1992–1993, Rusia memang pernah mendirikan proyek peswat multiperan baru untuk memperbarui MiG-29 dan Su-27 sekaligus dengan nama “Proyek 1.44”. Proyek tersebut bertujuan untuk menjawab AS yang juga mendirikan proyek serupa bertajuk Advanced Tactical Fighter yang kelak akan melahirkan F-22 Raptor. Sebuah prototipe berhasil dibuat pada 1994, meskipun belum dapat diterbangkan. Prototipe tersebut menjalani serangkaian uji darat (ground test). Meskipun begitu, sebagaimana dikutip dalam Modern Book of Great Warplanes, teknologi yang digunakan dalam prototipe tersebut tak jauh berbeda dengan MiG-29, dengan mesin yang sama dengan Sukhoi Su-27, Saturn-Lyulka AF-41. Tentu bukan prototipe yang ideal, mengingat prototipe AS mengusung konsep ‘pesawat tempur generasi kelima’ dengan teknologi stealth yang membuatnya sulit dilacak radar dan teknologi avionik yang seratus persen digital. Uji coba terbang prototipe tersebut bahkan terlambat lebih dari tujuh tahun, dengan penerbangan pertama pada 29 Februari 2000.
Berbagai problem kemudian menghentikan uji coba pesawat tempur MiG 1.44 tersebut, dan akhirnya MiG resmi membatalkannya tak lama setelah uji terbang perdana. Meskipun begitu, ada isu bahwa proyek tersebut akan dilanjutkan setelah 2020, di mana pada MAKS 2015 (pameran udara internasional Rusia) desain baru dari MiG 1.44 bernama Mikoyan LMFS dipamerkan dalam bentuk maket statik.
Diversifikasi produk juga menjadi masalah pelik dalam manajemen produksi MiG. MiG tak pernah lagi menelurkan produk pesawat tempur baru setelah dibatalkannya Proyek 1.44. Meskipun pernah mendesain sebuah pesawat latih bernama MiG AT untuk menggantikan L-39 Albatros yang telah lebih dari tiga dasawarsa menjadi pesawat latih AU Rusia, namun lagi-lagi desain dan teknologi yang diterapkan dalam MiG AT tak membuat AU Rusia puas. Yakovlev Yak-130 akhirnya menjadi pilihan, padahal MiG AT merupakan kolaborasi pertama antara Blok Timur dan Blok Barat yang cukup ambisius. MiG hanya memfokuskan diri pada pengembangan pesawat tempur multiperan, dengan basis MiG-29. Hasilnya adalah berbagai varian seperti MiG-29K, MiG 29M, dan Mig-29SM. Produk terbarunya adalah MiG-35, dengan teknologi avionik generasi keempat plus, dengan instrumen digital. MiG enggan menyasar pasar pesawat sipil, padahal strategi tersebut dapat menjadi alternatif untuk memperbaiki keuangan, mengingat biaya produksi pesawat sipil seringkali lebih murah daripada pesawat tempur dan kebutuhan akan pesawat penumpang jauh lebih besar, seiring dengan perkembangan industri penerbangan.
Semakin banyak pabrikan yang memproduksi pesawat tempur sekelas dengan teknologi yang lebih canggih. Konsorsium empat negara Eropa Barat (Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman) misalnya, meluncurkan Eurofighter Typhoon pada 1994. F-16 buatan Lockheed Martin terus dikembangkan dan diproduksi secara massal hingga mencapai 4.800 unit pada 2018. Boeing juga mengembangkan F/A-18E/F Super Hornet yang berkemampuan tempur lebih baik daripada F-18 Hornet. Swedia, meskipun agak telat, juga tak mau kalah dengan meluncurkan Saab JAS-39 Gripen yang mungil namun gesit dan menyasar pasar negara-negara berkembang. Prancis juga memperkenalkan Dassault Rafale yang tak kalah canggihnya, pada 2001. Keberadaan produk-produk baru tersebut tentu menjadi pukulan telak bagi MiG yang masih berjuang mencari pasar.
Di sisi lain, Sukhoi bernasib lebih baik. Setelah Perang Dingin, korporasi tersebut terus berinovasi. Setelah Su-27 yang sukses pada 1980-an, Sukhoi kemudian meluncurkan Su-30, di mana pesawat tempur multiperan tersebut memiliki varian dengan kemampuan lain seperti Su-33 yang merupakan versi angkatan laut, Su-35 dengan teknologi aviasi generasi keempat plus, dan pengembangan lanjutannya — pengebom Su-34 yang secara desain mengambil dari Su-30 dengan modifikasi total. Radar dan teknologi aviasi yang digunakan juga terus diperbarui, membuatnya tak kalah saing dengan pesawat-pesawat tempur sekelas buatan Barat yang telah disebutkan di atas.
Hal tersebut membuat Sukhoi terus mendapatkan pasar internasional. Sukhoi pun tak malu melakukan transfer teknologi dengan Tiongkok dan India. Kedua negara tersebut di bawah binaan dan lisensi Sukhoi melakukan produksi Su-27 dan Su-30 secara mandiri. Selain itu, Sukhoi juga melakukan diversifikasi produk. Pada 1990-an, Sukhoi merancang pesawat penumpang sipil dengan nama Superjet 100. Meskipun sempat terseok dan hampir dibatalkan, namun pada akhirnya Sukhoi menggandeng perusahaan aviasi Barat seperti Airbus, Leonardo, dan Safran untuk bekerja sama mengembangkan Superjet 100. Pada 2007, pengujian perdana pesawat tersebut sukses dan mulai diproduksi massal sejak 2008. Pada 2018, tercatat Sukhoi Superjet 100 dipesan sebanyak lebih dari 300 buah, di mana 170 di antaranya telah dikirim. Sukhoi Superjet 100 cukup laku di pasaran internasional, di mana terdapat belasan maskapai yang memesannya.
Perkembangan pesat ekonomi Rusia pada pertengahan 2000-an pula dimanfaatkan Sukhoi untuk terus berinovasi dalam sektor aviasi militer. Produk terbaru Sukhoi adalah Su-57, yang sebelumnya diberi nama Sukhoi PAK-FA. Su-57 merupakan pesawat tempur generasi kelima yang berteknologi stealth dan menjadi andalan Rusia untuk menyaingi pesawat tempur sekelas, seperti F-22 Raptor dan F-35 Lightning II. Keberhasilan Sukhoi memasuki persaingan jet tempur generasi kelima bermakna positif dan menunjukkan kebangkitan bagi perusahaan tersebut. Sukhoi mampu menciptakan (atau meniru) teknologi stealth ala Barat yang menjadi kunci bagi perkembangan pesawat tempur generasi kelima. Selain itu, diversifikasi Sukhoi terlihat dengan turut berperan bersama Yakovlev dalam merancang pesawat sipil Irkut MS-21 dan pembaruan pesawat serang Su-25.
Meskipun keduanya dapat dikatakan bersaing secara produk dan memiliki nasib yang cukup berbeda, namun pada dasarnya baik MiG maupun Sukhoi adalah dua perusahaan yang bekerja di bawah pemerintah Rusia. Demi mewujudkan Rusia yang lebih kuat secara geopolitik — sekaligus mewujudkan aspirasi untuk menjadi kekuatan adidaya geopolitik global, Presiden Vladimir Putin membentuk kebijakan luar negeri yang lebih ekspansif sekaligus meningkatkan keamanan dalam negeri. Salah satu poin penting di dalamnya adalah peningkatan kualitas industri militer. Oleh sebab itu, dengan Dekrit Presiden Nomor 140, pada 2006 Putin menggabungkan seluruh industri aviasi Rusia menjadi satu, dengan nama United Aircraft Corporation (UAC). Penggabungan tersebut juga bertujuan untuk menyelamatkan kondisi keuangan perusahaan-perusahaan tersebut sekaligus menjamin keberlangsungan lini produksi pesawat, baik sipil maupun militer.
Dinamika industri militer Rusia memang mengalami deklinasi yang signifikan pasca Perang Dingin, namun tidak menutup kemungkinan dengan perbaikan ekonomi, pembaruan manajemen, dan inovasi yang lebih baik dapat menjadikan Rusia tak kalah bersaing dengan negara-negara Barat dalam urusan alutsista, utamanya pesawat tempur. Ditambah lagi, sejak 2014, Rusia kian menegaskan bahwa dirinya bukan lagi “anak kemarin sore” dalam percaturan kekuatan geopolitik dunia. Aneksasi Krimea dan keterlibatan mereka di Suriah jelas tidak dapat dipandang sebelah mata. Industri aviasi militer Rusia akan menjadi pemain kunci dalam Perang Dingin 2.0.
Referensi
“History.” Diakses 21 Juli 2020. https://www.uacrussia.ru/en/corporation/history/.
Pedraja, René De La. The Russian Military Resurgence: Post-Soviet Decline and Rebuilding, 1992–2018. McFarland, 2018.
Renz, Bettina. Russia’s Military Revival. John Wiley & Sons, 2018.
Rutland, Peter. “Putin’s Economic Record: Is the Oil Boom Sustainable?” Europe-Asia Studies 60, no. 6 (2008): 1051–72.
Sweetman, Bill. The Great Book of Modern Warplanes. Salamander, 2000.
The Military Balance. International Institute of Strategic Studies, 2019.
Wezeman, Siemon T. “Russia’s Military Spending: Frequently Asked Questions | SIPRI.” Russia’s military spending: Frequently asked questions, 27 April 2020. https://www.sipri.org/commentary/topical-backgrounder/2020/russias-military-spending-frequently-asked-questions.