Implementasi Politik “Lebensraum” dalam Ambisi Politik Lintas Batas Saddam Hussein di Kuwait

Saddam Hussein memiliki ambisi ekspansionisme yang besar — salah satunya ia jalankan dengan menginvasi Kuwait pada 1990. Terlepas dari aksi balasan yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta sekutunya dalam tajuk Perang Teluk, Saddam Hussein membuktikan bahwa untuk memperoleh sumber daya sebesar-besarnya, negara dapat mengambil langkah agresif dengan menginvasi negara lain.

Alfin Febrian Basundoro
7 min readJan 11, 2021
Sumur-sumur minyak Kuwait yang dibakar oleh tentara Irak atas perintah bumi-hangus Saddam Hussein

Invasi yang dilakukan oleh militer Irak pimpinan Saddam Hussein ke Kuwait menjadi peristiwa yang cukup menggemparkan pada permulaan dasawarsa 1990-an. Hanya dalam hitungan hari, Irak berhasil menganeksasi dan mendirikan pemerintahan ad interim di negara tersebut yang tentunya mewakili kepentingan Irak, baik secara domestik maupun internasional. Invasi Irak yang terjadi pada Agustus 1990 tersebut sejatinya telah dipersiapkan sejak berbulan-bulan sebelumnya dengan memanfaatkan situasi di mana militer Irak baru saja unggul atas Iran dalam Perang Iran-Irak yang usai dua tahun sebelumnya (Kostiner, 2009, hlm. 78). Saat itu, kekuatan militer Irak memang merupakan yang terkuat di Timur Tengah, dengan jumlah personel mencapai lebih dari 500 ribu dan anggaran militer hingga 10% dari anggaran nasional negara tersebut (Otterman, 2005). Maka, bukanlah hal yang mustahil bagi Irak di bawah ambisi geopolitik Saddam Hussein untuk melaksanakan ekspansi lintas batas negara yang berujung pada pendudukan atas Kuwait tersebut.

Secara politik, Kuwait sendiri sejatinya bukanlah lawan bagi Irak dalam kontestasi di Timur Tengah pada periode 1990-an. Kuwait sendiri, berdasarkan argumen Karsh dan Freedman (1993) justru pernah memberikan asistensi kepada Irak dalam melawan Iran dalam berbagai bentuk; pertama, Kuwait memberikan pinjaman modal senilai US$ 8,2 miliar dalam berbagai bentuk, mulai dari persenjataan hingga keuangan. Kedua, Kuwait juga meminjamkan Irak pelabuhan dan fasilitas minyaknya supaya tetap mampu menggerakkan ekonominya kendati kota pelabuhan satu-satunya, Basra, kala itu menjadi palagan pertempuran. Ketiga, Kuwait memberikan dukungan diplomatik kepada Saddam Hussein sebagai “sesama saudara Bangsa Arab” dalam upaya menghadapi Iran.

Meskipun demikian, lambat laun, relasi keduanya memburuk, terutama setelah Saddam menuduh Kuwait melakukan pengeboran minyak secara serampangan hingga melebihi batas negara. Selain itu, menurunnya relasi kedua negara juga dipengaruhi oleh keengganan Kuwait untuk melonggarkan pembayaran Irak atas pinjaman semasa perang melawan Iran (Amiri & Soltani, 2011, hlm. 190–191). Saddam sendiri beranggapan bahwa Irak masih memerlukan biaya yang masif untuk pembangunan ekonominya pascaperang tersebut. Esai ini berupaya untuk menjawab beberapa pertanyaan, seperti bagaimana implementasi ekspansi lintas batas Saddam Hussein terhadap Kuwait dan apa tujuan dari ekspansi lintas batas Irak tersebut.

Ekspansi Saddam Hussein ke Kuwait terjadi setelah kegagalan dalam Perang Iran-Irak 1980–1988

Konsep Lebensraum Karl Haushofer dan Perspektif Perbatasan Klasik

Untuk menganalisis ambisi ekspansi lintas batas Saddam Hussein tersebut, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah konsep Lebensraum karya Karl Haushofer, seorang ahli geopolitik klasik Jerman. Sebelumnya, konsep Lebensraum sendiri telah dikembangkan oleh berbagai ahli, seperti Fredrich Ratzel dan Rudolf Kjellen serta terpengaruh oleh teori kekuasaan geopolitik Halford McKinder (Abrahamsson, 2013, hlm 37). Konsep tersebut merupakan bagian dari perspektif politik perbatasan klasik — menggambarkan perbatasan sebagai suatu hal yang rigid dan dapat diinstrumentasi oleh negara dalam mencapai kepentingan tertentu. Negara dalam konsep tersebut digambarkan sebagai “makhluk hidup” yang membutuhkan ruang untuk hidup dan berkembang (Herwig, 1999). Asumsinya, bahwa negara akan terus berekspansi dalam rangka memperoleh sumber daya dan memenuhi kebutuhan spasial bagi warganya, tidak peduli apakah ekspansi tersebut akan melanggar batas negara dari negara lain selama kekuatan agregat yang dimiliki mencukupi.

Dalam konteks politik ekspansi lintas batas Saddam Hussein, tentunya, pendekatan ini mengalami komodifikasi. Dibandingkan dengan konsep Lebensraum murni karya Haushofer yang menggambarkan negara sebagai entitas uniter, dalam pembahasan esai ini, Irak sebagai negara dipandang sebagai entitas yang terkontrol oleh aktor, yakni Saddam Hussein, rezimnya, dan aneka kebijakannya. Pengambilan kebijakan tentunya akan mempengaruhi ekspansi Irak melintasi perbatasan Kuwait. Untuk itu, metode analisis berbasis bukti (evidence-based analysis) akan berperan penting dalam membahas topik fokus. Bahasan dalam esai ini akan berfokus pada beberapa aspek, pertama, yakni kondisi geografis Irak yang terbatas dan menjadi penghalang bagi negara tersebut untuk mengembangkan perekonomiannya; dan kedua, adalah tujuan dari ekspansi lintas batas Irak ke Kuwait dipandang dari berbagai aspek — ekonomi dan politik.

Faktor Geoekonomi dan Politik Hegemoni sebagai Pendorong Invasi

Irak sendiri memiliki bentuk geografis yang melebar di bagian barat dan menyempit pada ujung timur yang berbatasan langsung dengan Teluk Persia. Panjang garis pantai Irak sangat sempit, tidak lebih dari 30 kilometer ketika air laut pasang dan berkurang drastis ketika surut yang menyebabkan Irak tidak memiliki pelabuhan berair dalam yang mampu menampung kapal-kapal besar (Kostiner, 2009, hlm. 80). Kondisi ini tidak ideal untuk Irak yang memiliki sektor ekonomi berbasis migas, yang tentunya membutuhkan banyak terminal dan pelabuhan untuk menampung dan mengalirkan minyak ke kapal-kapal tanker berukuran raksasa. Kota pelabuhan utama Irak, yakni Basra, alhasil tidak dapat diandalkan karena air laut yang dangkal. Rezim Saddam Hussein harus memutar otak untuk memperoleh akses yang lebih besar terhadap garis pantai dan air laut yang cukup dalam (Dijk dkk., 2013). Upaya awal Saddam untuk mencapainya pada Perang Iran-Irak berakhir dengan kesia-siaan, karena sekalipun Irak jauh lebih unggul atas Iran secara militer, namun tidak dapat merebut wilayah pesisir Iran yang berbatasan dengan Irak untuk akses maritim (Karsh & Freedman, 1993). Alhasil, agresi Irak atas Kuwait yang terjadi hanya dua tahun berselang setelah kegagalan di Iran menjadi pertimbangan utama untuk kebutuhan akses laut.

Aspek berikutnya, yakni ekonomi, erat kaitannya dengan konflik geoekonomi antara Irak dengan Kuwait. Sebagai sesama anggota OPEC dan mengambil keuntungan dalam jumlah besar dari minyak bumi, tentunya Irak dan Kuwait perlu untuk saling bernegosiasi demi mewujudkan kesetimbangan harga minyak agar sama-sama memperoleh keuntungan. Meski demikian, negosiasi tersebut sukar tercapai karena ketiadaan kompromi, misalnya ketika Kuwait melakukan pengeboran minyak secara berlebihan di sumur Rumaila, di sekitar perbatasan kedua negara (Kostiner, 2009, hlm. 85–86). Beberapa catatan, seperti Economist Intelligence Unit (1990) menyebutkan bahwa Kuwait memproduksi lebih dari 500 ribu barel minyak bumi lebih banyak daripada kuota OPEC yang ditetapkan pada 1989. Irak merasa bahwa tindakan Kuwait tersebut tidak dapat dibiarkan, mengingat apabila anggota OPEC memproduksi minyak di atas kuota, maka harga minyak dapat turun secara signifikan, seiring dengan peran besar OPEC dalam penentuan harga minyak.

Meskipun menjadi negara pengekspor minyak bumi utama pada masanya, Irak hanya memiliki satu pelabuhan minyak bumi di Basra

Saddam Hussein sendiri memerlukan dana besar untuk membangun kembali negaranya pascaperang dengan Iran sekaligus membayar utangnya terhadap negara-negara lain yang telah membantunya dalam perang tersebut, salah satunya Kuwait sendiri (Assiri, 1990, hlm. 133). Awalnya, Saddam bernegosiasi dengan Emir Kuwait pada 1988 hingga 1989 untuk pelonggaran utang. Apabila gagal, Saddam menginginkan Pulau Warbah dan Bubiyan sebagai gantinya — mengingat posisi strategis kedua pulau tersebut untuk akses maritim Irak di luar Shatt al-Arab (Assiri, 1990, hlm. 135). Namun, kedua tuntutan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Emir Kuwait. Ditambah dengan kecurigaan Saddam bahwa Kuwait melakukan pencurian minyak karena pengeboran di Rumailia, situasi ini berlarut-larut dan mengakibatkan Irak terus menekan Kuwait, dengan titik puncaknya adalah keputusan Saddam untuk menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990.

Aspek terakhir yang menjadi bahasan adalah kepentingan politik Saddam yang menggambarkan dirinya sebagai “penguasa dunia Arab” dan menganggap Irak sebagai “hegemon regional” kala itu (Amiri & Soltani, 2011, hlm. 200). Untuk membuktikan statusnya sebagai hegemon, praktis Irak melakukan tindakan agresif dengan menginvasi Kuwait. Apalagi, secara kekuatan militer, Irak kala itu merupakan negara yang terkuat di Timur Tengah — melebihi Arab Saudi, Iran, dan Israel. Situasi ini pula yang tidak dipertimbangkan oleh Pemerintah Kuwait dengan menganggap bahwa netralitas di Timur Tengah telah tercapai pasca-Perang Iran-Irak (Kostiner, 2009, hlm. 91–92). Padahal, sejak akhir 1989 ketika negosiasi Saddam-Emir Kuwait mengalami deadlock, tentara Irak dapat dikatakan hampir mengepung perbatasan dengan Kuwait. Jelas, dengan kekuatan militer yang tidak seberapa, Kuwait dengan mudah ditaklukkan oleh Irak dalam hitungan hari.

Kesimpulan

Kesimpulannya, adalah bahwa Saddam Hussein berhasil melaksanakan implementasi konsep Lebensraum karya Karl Haushofer. Dengan ambisi politiknya, ia berhasil menggambarkan bagaimana negara membutuhkan “ruang hidup” dengan berekspansi ke luar batas dan menganeksasi negara lain. Bahkan, tujuan tersebut cukup kompleks dan mewakili dua aspek strategis yakni ekonomi dan politik, di mana selain bertujuan untuk memperoleh akses terhadap laut dan penguasaan atas sektor migas, Irak juga berupaya untuk membuktikan statusnya sebagai hegemon atas negara-negara Timur Tengah lainnya. Meski demikian, agaknya ambisi Irak tersebut hanya berumur singkat, seiring dengan adanya serangan balasan yang dipimipin oleh Amerika Serikat atas Irak dalam Perang Teluk, yang dimulai sejak akhir Agustus pada tahun yang sama dan dalam enam bulan, berhasil mengembalikan kedaulatan Kuwait dan menghabisi hampir seluruh kekuatan Irak (Otterman, 2005).

Referensi

Assiri, A.-R. (2019). Kuwait’s Foreign Policy: City-state In World Politics. Routledge.

Dickman, F. M. (1992). [Review of Review of Kuwait’s Foreign Policy: City-State in World Politics, by A.-R. Assiri]. The Journal of Energy and Development, 17(2), 321–323. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/24807643

Dijk, R. van, Gray, W. G., Savranskaya, S., Suri, J., & Zhai, Q. (2013). Encyclopedia of the Cold War. Routledge.

Ekhtiari Amiri, R., & Soltani, F. (2011). Iraqi Invasion of Kuwait as Turning Point in Iran-Saudi Relationship. Journal of Politics and Law, 4. doi: 10.5539/jpl.v4n1p188

Freedman, L., & Karsh, E. (1993). The Gulf Conflict, 1990–1991: Diplomacy and War in the New World Order. Princeton University Press.

Gause, F. G. (n.d.). Iraq and the Gulf War: Decision-Making in Baghdad. University of Vermont, 34.

Herwig, H. H. (1999). Geopolitik: Haushofer, Hitler and lebensraum. Journal of Strategic Studies, 22(2–3), 218–241. doi: 10.1080/01402399908437762

Kostiner, J. (2009). Conflict and Cooperation in the Gulf Region. Springer Science & Business Media.

Otterman, S. (2005, February 3). IRAQ: Iraq’s Prewar Military Capabilities. Retrieved December 17, 2020, from Council on Foreign Relations website: https://www.cfr.org/backgrounder/iraq-iraqs-prewar-military-capabilities

--

--