Ibarat Mengharapkan “Telur si Blorok”, Harapan Akan Moderasi Taliban Hanyalah Isapan Jempol

Kelompok milisi Taliban kembali ke tampuk pemerintahan di Afghanistan. Berkuasanya kelompok milisi yang kental dengan fundamentalisme Islam tersebut diwarnai harapan akan reformasi dan perubahan identitas kelompok seiring dengan tuntutan zaman. Namun setelah lebih dari setahun, harapan tersebut jauh panggang daripada api.

Alfin Febrian Basundoro
9 min readJan 31, 2023
Pasukan Milisi Taliban di Tengah Perkampungan

Setelah beberapa bulan bertempur melawan pasukan militer Tentara Nasional Afghanistan, gelombang milisi Taliban akhirnya berhasil merebut Kabul, ibu kota dan pusat finansial Afghanistan yang digadang menjadi benteng terakhir pemerintah Republik Islam Afghanistan. Hanya dalam hitungan minggu, Taliban seolah membawa negara tersebut mundur ke akhir dasawarsa 1990-an, ketika milisi tersebut menguasai pemerintahan dengan bertajuk “Keemiran Islam Afghanistan”. Sama seperti momen sebelumnya, Taliban kemudian mengubah lagi negara tersebut menjadi negara Islam dengan pemerintahan berbasis syariat Islam.

Tumbangnya pemerintahan Republik Islam pimpinan Presiden Ashraf Ghani memberikan pesan kuat: bahwa kekuasaan yang disokong negara hegemon sekalipun tidak akan abadi, bahkan dalam menghadapi milisi semacam Taliban. Pesan inilah yang kemudian disambut secara gempita oleh berbagai pihak, mulai dari organisasi Islam, para akademisi politik aliran kritis, hingga negara-negara yang berseberangan secara politik dengan Amerika Serikat. Narasi yang bergaung adalah bahwa kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan merupakan wujud dari “independensi masyarakat Afghanistan dalam kekuasaan” setelah puluhan tahun berada di bawah kendali negara asing. Beberapa pihak juga menggambarkan momen ini sebagai “kemenangan umat Islam atas hegemoni kekuasaan kafir”, dengan Taliban digambarkan sebagai representasi masyarakat Afghanistan dan umat Islam, sementara Amerika Serikat menjadi representasi kekuatan asing dan kafir.

Kendati demikian, ada satu permasalahan pelik. Taliban sudah lebih dari tiga dasawarsa dikenal sebagai milisi yang tanpa kompromi. Kelompok ini seringkali menegakkan syariah Islam dengan keras, bahkan tak jarang menggunakan paksaan dan kekerasan. Belum lagi, kecenderungan Taliban untuk memahami ajaran Islam secara tekstual dan dipandang secara global sebagai takfiri — golongan yang kerap memberi stempel “kafir” kepada kelompok atau kalangan yang berseberangan secara ideologi dan religius dengan mereka. Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan, apakah Taliban kemudian dapat dianggap sebagai “kelompok reformis” atau sekadar kelompok milisi yang ingin mereguk kekuasaan di negara asalnya, sebagaimana yang acap terjadi di Timur Tengah.

Implikasinya tidak main-main; ketika Taliban berupaya menegakkan “syariah Islam secara murni” ketika berkuasa pada tahun 1996 hingga 2001, kelompok ini praktis melarang segala hal yang menurut mereka bertentangan dengan syariah — film, musik, dan media Barat. Namun yang paling parah, adalah pelanggaran kemanusiaan dan hak-hak asasi atas rakyat Afghanistan. Misalnya, adalah rusaknya institusi pendidikan Afghanistan akibat keputusan Taliban untuk melarang seluruh perempuan Afghanistan untuk duduk di bangku sekolah. Kondisi yang teramat kontras dengan Afghanistan pada dasawarsa 1950–1960-an, di mana hak-hak dasar perempuan seperti hak atas pendidikan dijamin oleh rezim.

Banyak pihak yang mengkhawatirkan hal ini. Pasalnya, jika Taliban tetap menerapkan ideologi yang serupa dengan periode pertama kekuasaan mereka, maka rakyat Afghanistan tak lain akan menjadi korban bencana kemanusiaan. Selain hak-hak dasar yang terancam, perputaran roda ekonomi masyarakat Afghanistan dikhawatirkan juga terhambat — atau bahkan mati total — karena sentimen pasar global yang kian negatif terhadap negara ini.

Di sisi lain, pihak-pihak yang menyambut Taliban secara positif berusaha optimis dengan argumen bahwa Taliban akan memoderasi diri, cepat atau lambat. Menurut mereka, zaman telah berubah dan saat ini, negara dengan embel-embel “syariat” sekalipun telah banyak bersinggungan dengan budaya Barat dan cukup kompromistis dengan kehadiran kultur dan ideologi asing, semisal negara-negara Teluk Persia. Argumen ini pula disokong dengan dalih bahwa Taliban tengah mencari pengakuan internasional dan karenanya, akan menyesuaikan diri dengan norma internasional termasuk HAM, kesetaraan gender, inklusivitas, dan sebagainya. Apalagi, sudah ada beberapa negara yang menyatakan akan menjalin relasi diplomatik dengan Afghanistan di bawah Taliban, semisal Rusia dan Tiongkok.

Akan tetapi, harapan akan reformasi identitas Taliban tersebut nyatanya jauh panggang daripada api — sia-sia belaka. Setelah lebih dari satu tahun perebutan kekuasaan, Taliban yang mulai mengonsolidasi diri tetap menunjukkan wajah aslinya sebagai milisi Islam fundamentalis. Berdasarkan laporan Human Rights Watch (2022), Taliban melakukan serangkaian pelanggaran HAM dasar terhadap penduduk Afghanistan, mulai dari pengabaian hak asasi perempuan, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak untuk berekonomi serta mencari penghidupan. Aneka komitmen Taliban untuk memoderasi diri sebagaimana yang disampaikan dalam pertemuan ulama-ulama Taliban dengan pengurus Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 2021 tidak kunjung dilaksanakan.

Pertemuan antara Delegasi Taliban dan Pengurus Nahdlatul Ulama di Bogor (2021)

Pengingkaran komitmen moderasi tersebut tampak dari kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh Taliban baru-baru ini. Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah kebijakannya untuk menutup kampus bagi mahasiswi dan melarang kaum perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Kebijakan ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi Afghanistan pada bulan Desember 2022 “hingga waktu yang tidak ditentukan”, menurut laporan Al Jazeera (2022). Sebelumnya, Taliban juga berulang kali menutup sekolah-sekolah bagi kaum hawa dan memerintahkan para murid perempuan untuk “kembali ke rumah”. Selain itu, terbit pula peraturan yang melarang perempuan untuk bekerja di lembaga nonpemerintah, menjadi bukti pengingkaran kelompok ini terhadap hak untuk berekonomi dan mencari penghidupan bagi seluruh penduduk Afghanistan.

Belum lagi, pemaksaan Taliban atas aturan berpakaian dan mobilitas bagi perempuan di Afghanistan. Dengan dalih “penegakan Syariat Islam”, kelompok ini memaksa perempuan dewasa untuk menggunakan penutup wajah di luar rumah dan melarang perempuan untuk bepergian lebih dari 70 kilometer tanpa didampingi oleh laki-laki mahramnya. Sementara itu, posisi perempuan di pemerintahan baru bentukan Taliban juga terancam, di mana kelompok tersebut membentuk kabinet tanpa satu pun menteri perempuan. Taliban kemudian mengeluarkan dekrit yang membatasi posisi perempuan di pemerintahan negara tersebut.

Kebijakan ini agaknya disebabkan oleh identitas fundamentalisme yang masih melekat di dalam tubuh Taliban sendiri. Beberapa ahli menyatakan bahwa ideologi Taliban sebagai “Islamisme Deobandi” yang merupakan salah satu cabang dari revivalisme Islam. Ideologi Islamisme Deobandi tersebut diimplementasikan secara ekstrem, di mana Taliban mengambil aspek-aspek Deobandi yang mengarah pada pemurnian ajaran Islam dan kebangkitan Islam dalam kebijakannya. Hal ini kemudian menyebabkan interpretasi ajaran Islam yang tekstual oleh Taliban, yang kemudian dipadukan dengan nasionalisme Pashtun. Menurut Neamatollah Nojumi (2002), pendirian negara Islam Afghanistan merupakan jawaban atas persilangan antara nasionalisme Pashtun, Pan-Islamisme, serta penentangan atas aneka nilai-nilai eksternal yang dapat mendisrupsi syariat Islam di Afghanistan.

Kondisi ini tentu menimbulkan polemik, khususnya apabila dibandingkan dengan kondisi Afghanistan ketika diperintah oleh pemerintahan bentukan Amerika Serikat antara tahun 2001 hingga 2021, yang secara teori, dikelola secara demokratis. Di satu sisi, memang Afghanistan menjadi kurang independen dalam pelaksanaan politik luar negerinya, di mana negara tersebut dipandang banyak pihak sebagai “boneka Amerika Serikat” di kawasan. Pandangan ini yang kemudian menjadi salah satu landasan keyakinan bahwa Taliban menjadi kelompok reformis dalam melawan hegemoni status adikuasa Amerika Serikat.

Hamid Karzai, Presiden Afghanistan 2002–2014

Di sisi lain, perubahan zaman dan meningkatnya kebutuhan akan pemenuhan hak-hak sipil tidak dapat begitu saja dimungkiri, khususnya menyangkut kehidupan masyarakat sipil Afghanistan. Hal inilah yang membuat kondisi sosial masyarakat Afghanistan pada akhirnya menjadi perhatian, terutama setelah dimulainya kembali kekuasaan Taliban di Afghanistan pada tahun 2021. Nyatanya, sekalipun berada di bawah kontrol politik Amerika Serikat, masyarakat Afghanistan memperoleh akses untuk pemenuhan sosial yang lebih baik, misalnya akses pendidikan, kesehatan, hingga lapangan pekerjaan. Data-data di bawah ini misalnya, menunjukkan kontras yang nyata pada kehidupan masyarakat Afghanistan di bawah Taliban dan di bawah “okupansi” Amerika Serikat.

Akses terhadap pendidikan misalnya, kendati tidak sepenuhnya terjamin, jauh lebih memadai dibandingkan era Taliban. Lebih dari 90% anak-anak usia sekolah dasar bersekolah pada tahun 2012, sementara lebih dari sepertiga anak perempuan bersekolah pada periode 2012–2013. Hal ini jelas kontras pada era Taliban sebelumnya (1996–2001), di mana menurut BBC dan Bank Dunia, hanya 21% anak duduk di bangku sekolah dasar dan kurang dari 10% anak perempuan bersekolah, seiring dengan ditutupnya akses pendidikan terhadap perempuan di Afghanistan. Seiring dengan berkuasa kembalinya Taliban dan kebijakan detrimental mereka untuk melarang kaum hawa untuk bersekolah, dapat dipastikan bahwa kondisi ini terjadi kembali.

Di antara dampaknya, adalah menurunnya kemandirian perempuan dalam berbagai sektor, terhambatnya pengembangan ekonomi lokal — khususnya yang digerakkan oleh perempuan, hingga ancaman brain drain yang seiring dengan banyaknya perempuan dengan kompetensi pendidikan tertentu yang melarikan diri dari negara tersebut. Dampak dari brain drain ini pula yang turut andil dalam terhambatnya pembangunan Afghanistan di masa mendatang, mengingat minimnya kaum intelektual yang terlibat dalam progres pembangunan di berbagai sektor. Dampak lain yang tidak kalah penting, adalah menurunnya indeks pembangunan manusia, seiring dengan menurunnya kapasitas kognitif perempuan di negara tersebut dan berdampak pada meningkatnya tingkat mortalitas anak, kerawanan terhadap penyakit menular, dan sebagainya.

Argumen beberapa pihak yang menyatakan bahwa Taliban akan memoderasi diri — cepat atau lambat — agaknya sulit untuk dibuktikan. Ideologi dan konsep dasar tata negara dan tata sosial Taliban membuat kelompok ini telanjur dikucilkan dari pergaulan internasional. Tulisan ini menggarisbawahi sejumlah hal yang menjadi penyanggah argumen tersebut.

Pertama, adalah ideologi dan konsep tata sosial Taliban yang sangat fundamental dan tekstual sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sehingga membuat kelompok ini tidak memiliki kapabilitas — dan intensi — untuk melakukan moderasi. Dalam konteks politik regional, ideologi Islamisme fundamentalis yang masih disokong oleh banyak organisasi religius militan— bahkan beberapa pemerintah negara di sekitar Afghanistan — turut menjadi faktor pendukungnya. Alhasil, Taliban seolah memiliki “ruang aman” untuk mengimplementasikan ideologinya, tanpa perlu khawatir terjadi tekanan yang lebih jauh terhadap struktur sosial di Afghanistan.

Kedua, adalah ketiadaan pengaruh dinamika kapital global yang disruptif terhadap struktur sosial yang diimplementasikan Taliban. Secara ekonomi, negara di persilangan kawasan Asia Selatan dan Tengah ini sangat ekstraktif, di mana tidak ada akumulasi kapital yang signifikan untuk pengembangan sektor ekonomi berbasis manufaktur atau jasa. Belum lagi, topografi Afghanistan yang ekstrem juga menyulitkan aliran kapital dari negara-negara sekitar dalam bentuk investasi — langsung atau tak langsung — masuk ke negara ini. Praktis, dinamika kapital global yang cenderung mendorong moderasi, kebebasan sosial-ekonomi, dan inovasi dalam beragam sektor tidak tampak pengaruhnya di Afghanistan.

Apabila dikomparasikan dengan pengalaman negara serupa, misalnya Afrika Selatan pasca-Apartheid yang secara politik dikuasai oleh African National Congress (ANC)— yang juga merupakan kekuatan revisionis laiknya Taliban — nyatanya mampu memoderasi diri. Berdasarkan argumen Southall (2004), ANC memiliki kapabilitas dan intensi untuk terlibat dalam dinamika kapital domestik, regional, dan global, sehingga secara perlahan, mampu beradaptasi untuk secara aktif terlibat dalam percaturan global. Ditambah, Afrika Selatan sendiri memang memiliki akses terhadap kapital yang cukup memadai, sektor finansial yang berkembang dengan baik, hingga relasi yang masih terjalin baik antara negara tersebut dengan negara-negara di dunia.

Taliban sebagai kelompok revisionis nyatanya tidak memiliki dorongan internal sekaligus tekanan secara eksternal untuk memoderasi diri. Dewan pimpinan Taliban di Afghanistan agaknya masih terlalu keras kepala dan terkungkung dalam batas-batas kaku ideologi mereka untuk berupaya memperbaiki tatanan sosial mereka secara internal. Di sisi lain, tekanan dunia internasional terhadap Taliban agaknya masih belum cukup untuk mendorong proses demokratisasi di Afghanistan. Beberapa negara turut terjebak dalam dilema: mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah dengan konsekuensi tidak menghormati hak-hak asasi manusia di Afghanistan atau tidak mengakui Taliban dengan konsekuensi akan kian sulit untuk melakukan intervensi langsung kepada masyarakat Afghanistan yang membutuhkan akses terhadap pemenuhan hak-hak asasi.

Masyarakat Afghanistan, pada akhirnya, akan terus menjadi korban bagi situasi ini.

Referensi

Afghanistan: Before and after the Taliban. (2014, April 2). BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-26747712

Franks, M. A. (2003). Obscene Undersides: Women and Evil between the Taliban and the United States. Hypatia, 18(1), 135–156. https://www.jstor.org/stable/3811041

Human Rights Watch. (2022, August 11). Afghanistan: Taliban’s Catastrophic Year of Rule. Human Rights Watch. https://www.hrw.org/news/2022/08/11/afghanistan-talibans-catastrophic-year-rule

Jejak Kedekatan NU dan Taliban. (n.d.). VOI — Waktunya Merevolusi Pemberitaan. Retrieved January 31, 2023, from https://voi.id/memori/79865/jejak-kedekatan-nu-dan-taliban

Mahmood, Z., & Picheta, R. (2021, August 25). Taliban tell Afghan women to stay home from work because soldiers are “not trained” to respect them. CNN. https://www.cnn.com/2021/08/25/asia/taliban-women-workplaces-afghanistan-intl/index.html

Nojumi, N. (2002). The Political Ideology of the Taliban. In N. Nojumi (Ed.), The Rise of the Taliban in Afghanistan: Mass Mobilization, Civil War, and the Future of the Region (pp. 152–157). Palgrave Macmillan US. https://doi.org/10.1007/978-0-312-29910-1_14

Noori, H. (2022, December 20). Taliban ban Afghan women from university education. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2022/dec/20/taliban-ban-afghan-women-university-education

Rashid, A. (2000). Taliban: Islam, oil and the new great game in Central Asia. London ; New York : I.B. Tauris. http://archive.org/details/talibanislamoiln0000rash

Southall, R. (2004). The ANC & Black Capitalism in South Africa. Review of African Political Economy, 31(100), 313–328. https://www.jstor.org/stable/4006894

Taliban supreme leader addresses major gathering in Kabul. (n.d.). Al Jazeera. Retrieved January 31, 2023, from https://www.aljazeera.com/news/2022/7/1/taliban-supreme-leader-addresses-gathering

Timeline: Taliban crackdown on Afghan women’s education, rights. (n.d.). Al Jazeera. Retrieved January 31, 2023, from https://www.aljazeera.com/news/2022/12/21/timeline-taliban-crackdown-on-afghan-womens-education-rights

--

--