Belajar Membangun Pertahanan Nasional dari Israel dan Singapura
Israel dan Singapura kerap dipandang sebelah mata di ranah regional akibat wilayah mereka yang mungil — namun mereka mampu membangun pertahanan nasional yang efektif.
Israel memiliki luas wilayah tak lebih dari 22.000 kilometer persegi — hanya seluas separuh Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk lebih kurang 9,1 juta jiwa. Karakteristik tersebut menjadikan Israel seolah terhimpit negara-negara sekitarnya (di mana sebagian di antaranya hingga kini menjadi rival, bahkan musuh), seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Iran. Penduduk Israel yang didominasi etnis Yahudi juga notabene minoritas secara regional dibandingkan dengan penduduk negara-negara tetangganya yang dominan Arab. Hubungan di antara kedua etnis tersebut pun hingga kini tak pernah benar-benar baik. Sebagaimana tercatat dalam banyak bukti sejarah, telah terjadi sekian banyak konflik di antara keduanya, mulai dari sekadar salah paham akibat perbedaan persepsi hingga perang yang membunuh jutaan jiwa.
Berangkat dari sejarah, negara mungil ini berhasil membangun kekuatan militer yang demikian kuat, efektif, dan kaya pengalaman tempur. Sejak dibentuk pada 26 Mei 1948, Tsva ha-Hagana le-Yisrael (Pasukan Pertahanan Israel — biasa disingkat Tzahal) telah terlibat dalam sedikitnya empat konflik besar, di mana kesemuanya berhasil dimenangi. Tak hanya itu, Angakatan Bersenjata Israel juga mampu mempertahankan penguasaan atas sebagian wilayah negara lain, yaitu Semenanjung Sinai yang dikuasai selama 15 tahun (1967–1982) dan Dataran Tinggi Golan (1967 hingga kini) — sebuah pencapaian yang sulit dicapai oleh militer negara lain di era modern. Pun, Israel masih mempertahankan supremasi mereka secara militer di dua wilayah yang diakui secara internasional sebagai Negara Palestina, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kini, meskipun ancaman yang senantiasa dihadapi Militer Israel hanyalah ancaman asimetris seperti Hamas, namun tak menutup kemungkinan bahwa Iran akan menjadikan Israel target mereka dan menjadi salah satu ancaman terpelik saat ini.
Indeks kekuatan militer Israel pula layak diperhitungkan di jajaran militer dunia. Global Firepower pada 2019 menempatkan militer Israel di peringkat ke-17 dunia, di antara Indonesia (16) dan Korea Utara (18). Posisi tersebut tentu sangat unggul dibanding negara dengan jumlah pasukan yang setara atau bahkan lebih besar, semisal Yunani, Arab Saudi, dan Vietnam. Israel pada 2017 memiliki 160.000 pasukan aktif dan lebih kurang 450.000 pasukan cadangan, termasuk anggota wajib militer. Tak hanya soal pengalaman tempur, alutsista sebagai aspek terpenting militer Israel juga tergolong canggih dan lengkap di segala lini. Angkatan Darat Israel misalnya, sebagaimana dinyatakan oleh IISS dalam Military Balance, memiliki tank tempur utama yang berjumlah sangat masif dibandingkan negara sekelasnya, dengan jenis tank Merkava III dan IV. Israel pula memiliki kesatuan pasukan strategis dengan rudal balistik dan dipercaya pula memiliki serta mengembangkan senjata nuklir, meskipun dalam jumlah terbatas dan tak pernah melakukan uji nuklir. Israel diketahui tak menandatangani perjanjian nonproliferasi senjata nuklir (nuclear nonproliferation treaty — NPT).
AU Israel juga tak dapat dipandang sebelah mata. Skuadron tempur mereka diisi dengan pesawat-pesawat tempur buatan Barat yang baru dan pastinya, canggih. Pada 2018, Israel memiliki lebih dari 300 pesawat tempur seperti F-16, F-15 dan F-35 varian terbaru. Pesawat-pesawat tersebut dapat menjadi sarana efek penggentar yang memadai untuk mencegah negara-negara di sekitarnya menyerang Israel kembali sebagaimana pada rangkaian Perang Arab-Israel, didukung dengan sistem radar dan persenjataan yang tak kalah canggih, baik buatan asing maupun lokal. Pesawat milik AU Israel tergolong lengkap, mulai dari pesawat tempur, angkut, pertempuran elektronik, helikopter dengan berbagai peran, hingga pesawat tanpa awak (UAV). Soal pengalaman tempur, banyak penerbang AU Israel memiliki pengalaman yang luar biasa dengan berhasil menembak jatuh belasan hingga puluhan pesawat musuh ketika berbagai konflik di masa silam.
Deskripsi di atas kiranya telah cukup untuk menegaskan Israel sebagai negara dengan kekuatan militer yang disegani di dunia. Terdapat beberapa faktor menarik yang menjadi penyebabnya, di mana sebagian di antaranya dapat menjadi acuan bagi negara yang ingin membangun kapabilitas pertahanan nasional dan militer yang kuat, efektif, berdaya saing, serta disegani secara regional dan global. Hal tersebut dapat menjadi pelajaran bagi banyak negara, terutama negara-negara kekuatan menengah (middle power) seperti Indonesia, meskipun tak setiap faktor dapat diadaptasi, mengingat perbedaan karakter geopolitik antara kedua negara.
Pertama, adalah pengembangan sumber daya manusia secara terencana dan dengan output berkualitas. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Israel memiliki sumber daya manusia yang terbatas, dan karenanya, tak dapat membentuk pasukan pertahanan dalam jumlah personel besar. Padahal, Israel dikelilingi oleh negara-negara yang ‘tak bersahabat’, bahkan pernah berhadapan satu sama lain dalam beragam pertempuran. Kondisi hubungan luar negeri yang konfliktual dengan negara sekitarnya pula menuntut Israel untuk mempersiapkan sumber daya manusia untuk dapat diterjunkan kapan saja di medan pertempuran, sehingga program wajib militer menjadi kebijakan mutlak di negara tersebut, bahkan ketika Israel baru merdeka.
Seluruh warga negara Israel yang beretnis Yahudi dikenai kewajiban militer, tanpa memandang jenis kelamin. Sementara itu, warga negara non-Yahudi seperti Arab, Druze, Yazidi, dan Armenia tidak dikenai kewajiban militer, namun dapat sewaktu-waktu mengikuti wajib militer dan bergabung dalam IDF secara sukarela. Sistem wajib militer Israel dibedakan antara pria dan wanita, di mana pria berdinas selama 32 bulan dan wanita selama 24 bulan. Dalam periode wajib militer tersebut, peserta akan diberi pelatihan intensif soal baris-berbaris, penggunaan senjata api, hingga strategi tempur dan doktrin militer.
Pemerintah Israel turut memfasilitasi dan membuka pintu lebar-lebar bagi para akademisi dan tenaga ahli di bidang tertentu seperti medis, matematika, keteknikan, dan kimia untuk menjadi aparat strategis militer. Hal ini menjadi penyebab militer Israel tak pernah kekurangan tenaga ahli guna menghadapi segala ancaman. Tak sampai di situ, Pemerintah Israel memberikan beasiswa bagi para pemuda yang memiliki kemampuan khusus di bidang-bidang strategis yang dibutuhkan militer, di mana mereka akan dididik dalam Program Talpiot selama tiga tahun. Industri pertahanan militer akhirnya turut berkembang pesat dengan ‘darah segar’ dari sumber daya tenaga ahli lokal yang sudah teruji kualitasnya. Dengan adanya program wajib militer, praktis militer Israel tak akan mengalami kekurangan sumber daya manusia, bahkan secara kasar, dapat diibaratkan bahwa “seluruh penduduk dewasa Israel dapat menembak”.
Masih berkaitan dengan sumber daya manusia, spesialisasi kesatuan militer Israel yang ketat dan sangat spesifik juga menjadi faktor. Pun, tak semua pasukan reguler dari militer Israel memenuhi kualifikasi untuk masuk ke dalam kesatuan tertentu. Hasilnya, adalah sederet kesatuan pasukan komando dengan kemampuan yang ‘benar-benar khusus’ dan mampu melaksanakan berbagai misi dengan tantangan luar biasa. Israeli Defense Forces (IDF) dapat secara taktis menyelesaikan berbagai misi, mulai dari patroli, pengintaian target, hingga melumpuhkan target strategis tertentu tanpa kesulitan, berkat spesialisasi kesatuan pasukan secara komprehensif. Tercatat terdapat belasan unit pasukan komando dengan kemampuan khusus di dalam tubuh IDF sendiri. Faktor ini lantas didukung dengan sinergi antaraspek strategis militer Israel, termasuk dengan kesatuan nonmiliter seperti dinas intelijen Mossad.
Faktor berikutnya, adalah industri militer berkelas dunia yang disokong oleh tingginya anggaran militer dan persentase PDB untuk riset dan pengembangan. Berbagai sumber menyatakan bahwa industri militer Israel menjadi salah satu yang terbaik di dunia, dengan keberhasilan menciptakan berbagai jenis persenjataan canggih. Tentunya, keberhasilan tersebut tak lepas dari anggaran militer tersebut. Penelitian dan pengembangan teknologi militer merupakan aspek penting bagi kemajuan industri militer, di mana Pemerintah Israel amat menaruh perhatian pada aspek ini.
Bahkan, Bank Dunia mencatat bahwa pengeluaran negara untuk riset dan pengembangan mencapai lebih dari 4,5% PDB Israel pada 2018, jauh lebih besar dibanding Jerman (3%), Amerika Serikat (2,7%), dan Prancis (2,2%). Dari porsi tersebut, lebih dari 30% di antaranya adalah untuk pengembangan teknologi militer. Maka tak heran apabila produk militer Israel mampu menguasai 10% ekspor senjata dunia. Secara umum, terdapat lima perusahaan yang menjadi tulang punggung industri pertahanan Israel, yaitu IMI dan IWI (memproduksi senjata api ringan dan peluru kendali), Elbit Systems (memproduksi drone dan radar), IAI (memproduksi dan memelihara pesawat tempur dan helikopter), serta Rafael Systems yang berfokus pada pengembangan peluru kendali antibalistik seperti David’s Sling dan Iron Dome yang kondang ketika Konflik Israel-Palestina 2008–2009.
Kemandirian Israel dalam memproduksi alutsista berangkat dari embargo senjata menjelang Perang Enam Hari pada 1967. Ketika embargo diterapkan, praktis Israel kesulitan dalam mendapatkan senjata dan alutsista dari negara-negara Barat yang selama ini menjadi sumber. Akibatnya, Israel harus melakukan riset dan pengembangan secara intensif demi memproduksi alutsista-alutsista yang kala itu tak dapat dibeli dari Barat guna memenangkan pertempuran. Cara yang kerap digunakan adalah dengan menduplikasi produk-produk persenjataan Barat yang dimiliki Israel. Kebetulan, saat itu terjadi surplus alutsista di gudang persenjataan negara tersebut. Embargo baru dicabut pada 1980-an, pascaperdamaian antara Israel dan Mesir, diawali dengan dibukanya kembali pengiriman alutsista dari Amerika Serikat. Meskipun begitu, industri militer Israel mengalami kemajuan yang luar biasa, seperti keberhasilan mereka dalam membuat pesawat tempur sendiri — meskipun hasil dari duplikasi dan pengembangan sejumlah pesawat tempur Prancis lawas. Kini, banyak negara yang berbondong-bondong memesan berbagai produk alutsista buatan Israel. Produk-produk tersebut kondang karena memiliki kualitas yang setara dengan produk Barat seperti Amerika Serikat, namun dengan harga yang relatif miring.
Faktor yang tak dapat dilupakan pula adalah persoalan doktrin militer. Israel mampu membentuk doktrin militer yang dinamis dan adaptif terhadap perkembangan konflik. Ben-Horin dan Posen dalam Israel’s Strategic Doctrine (1981) menyatakan bahwa doktrin strategis Israel adalah untuk menghalau kekuatan Arab sekaligus memberikan efek penggentar secara masif terhadap negara-negara Arab. Meskipun begitu, tak selamanya IDF bertahan dengan doktrin ini. Ancaman yang berbeda, seperti pertempuran asimetris menghadapi milisi dan kelompok bersenjata mengubah doktrin militer Israel, terutama setelah Intifada pertama (1986–1987). Infanteri IDF kini fokus dalam mengembangkan strategi pertempuran urban (wilayah perkotaan) dan penyerbuan ke kamp-kamp latihan kelompok milisi seperti Al-Quds di Jalur Gaza. Bahkan sejak Perang Lebanon 2006, Israel mengembangkan strategi Dahiya yang bertujuan untuk menghancurkan aset-aset sipil seperti rumah, toko, dan sekolah agar tidak digunakan oleh milisi, mengingat banyak di antara mereka yang menggunakannya sebagai gudang senjata atau tempat berlatih.
Di sisi lain, selain mengembangkan industri pertahanan secara mandiri, Israel tetap bergantung pada produk alutsista asing. Pemerintah Israel mampu mengusahakan agar militer negara tersebut mendapatkan alutsista terbaru, terutama dari Amerika Serikat dan NATO, bahkan Israel telah dinyatakan sebagai Sekutu Utama Non-NATO oleh Presiden George H.W. Bush pada 1989. Hal ini mengindikasikan adanya pembentukan aliansi dengan negara-negara yang lebih kuat untuk memenuhi kepentingan nasional. Memang, tak selamanya pembentukan aliansi akan berdampak positif terhadap kepentingan strategis suatu negara. Namun sekali lagi, langkah Israel menunjukkan bagaimana kerja sama dan pembentukan aliansi secara efektif dapat meningkatkan kapabilitas militer suatu negara dan mampu meningkatkan sinergi dengan kekuatan dunia guna menghadapi aneka problematika regional dan internasional.
Salah satu negara yang kiranya cukup sukses dalam mengadaptasi pembangunan pertahanan nasional Israel adalah Singapura. Luas wilayah Singapura yang mungil memiliki kemiripan dengan Israel, menjadikan negara tersebut seolah ‘terkepung’ secara regional. Namun, Singapura tak dapat dianggap remeh secara militer. Sadar akan posisinya secara geopolitik, Singapura mengadopsi strategi pertahanan Israel dan memiliki angkatan bersenjata dengan kapabilitas yang bersaing dengan tetangga-tetangganya. Toh Boon-Kwan dalam Singapore’s Development and Use of Military Power (2016) berargumen bahwa dengan keterbatasan geografis dan populasi, Singapura berusaha menjadikan penduduknya sadar akan keamanan nasional dengan metode yang efektif dan terencana. Program National Service yang diwajibkan untuk seluruh penduduk pria merupakan salah satu upaya tersebut, di mana di dalamnya terdapat program wajib militer. Peserta wajib militer akan secara langsung masuk ke dalam kesatuan cadangan militer nasional.
“Biarpun memiliki wilayah yang mungil, namun Singapura berhasil membangun sistem pertahanan nasional yang efektif dan canggih, serta disegani secara regional. Singapura pula mampu membangun militer yang berfungsi lebih dari sekadar pencipta efek penggentar dan mampu menghadapi berbagai faktor ancaman kepentingan nasional.”
— Toh Boon-Kwan, dalam Singapore’s Development and Use of Military Power (2016)
Anggaran militer Singapura merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Sebagaimana Israel, negara tersebut menggunakan sebagian besar anggaran militernya untuk mengembangkan alutsista secara kuantitatif dan kualitatif, juga industri militer. Dengan jumlah personel yang tak terlalu besar namun optimal (lengkap di setiap lini strategis), maka tak akan terjadi penggunaan anggaran militer yang sia-sia hanya untuk ‘memberi makan’ personel dalam jumlah besar. Tak dapat dipungkiri bahwa kemudian, Singapura mampu menjelma menjadi negara dengan kekuatan militer yang tak main-main. Meskipun begitu, akibat keterbatasan luas wilayah, banyak alutsista yang harus ‘dititipkan’ di wilayah negara lain, seperti beberapa unit F-15 di Australia dan Amerika Serikat. Di samping itu, Singapura pula mampu melakukan pendekatan-pendekatan strategis dengan banyak negara, sehingga dengan mudahnya memperoleh keuntungan berupa perlindungan apabila sewaktu-waktu terjadi peperangan fisik. Aspek ini penting, mengingat Singapura memiliki wilayah yang strategis, di mana perairan di sekitarnya — Laut Tiongkok Selatan turut menjadi wilayah sengketa.
Dua negara tersebut kiranya dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam membangun kapabilitas pertahanan nasional yang efektif, efisien, dan disegani oleh dunia internasional. Hingga kini, program-program strategis pertahanan nasional kita belum benar-benar menjadi perhatian dan belum dapat dianggap berhasil. Padahal, dengan luas wilayah yang lebih besar dan penduduk yang lebih banyak daripada dua negara tersebut, praktis Indonesia harus memiliki sistem hankam yang lebih kuat dan efektif dalam menghadapi ancaman, baik internal maupun eksternal. Pertanyaannya, kapan dan bagaimana kita benar-benar mampu memiliki sistem dan strategi pertahanan yang kapabel dalam menghadapi situasi dan kondisi apapun secara efektif?
Referensi
“2019 Israel Military Strength.” Diakses 17 Januari 2020. https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=israel.
Ben-Horin, Yoav, dan Barry Posen. Israel’s Strategic Doctrine. California: Rand Corporation, 1981.
Brimelow, Benjamin. Business Insider. “How a Tiny City-State Became a Military Powerhouse with the Best Air Force and Navy in Southeast Asia, Business Insider — Business Insider Singapore.” Diakses 17 Januari 2020. https://www.businessinsider.sg/singapore-military-best-air-force-navy-southeast-asia-2018-4/?r=US&IR=T.
Cohen, Stuart. “Dilemmas of Military Service in Israel: The Religious Dimension.” The Torah U-Madda Journal 12 (1 Januari 2004). https://doi.org/10.2307/40914701.
Katz, Yaakov. “Why Israel Has the Most Technologically Advanced Military on Earth.” New York Post (blog), 29 Januari 2017. https://nypost.com/2017/01/29/why-israel-has-the-most-technologically-advanced-military-on-earth/.
Levush, Ruth. “Israel: Military Draft Law and Enforcement.” Web page, November 2019. https://www.loc.gov/law/help/military-draft/israel.php.
“Research and development expenditure (% of GDP) — Israel | Data.” Diakses 17 Januari 2020. https://data.worldbank.org/indicator/GB.XPD.RSDV.GD.ZS?locations=IL.
Savelsberg, Ralph. “Israeli IDF’s Kochavi Plans ‘Fast & Strong’ Weapons Department.” Breaking Defense (blog). Diakses 17 Januari 2020. https://breakingdefense.com/2019/08/israeli-idfs-kochavi-plans-fast-strong-weapons-department/.
“The Military Balance.” International Institute of Strategic Studies 118, no. 1 (Januari 2018): 5–6. https://doi.org/10.1080/04597222.2018.1416963.
Toh, Boon Kwan. “Singapore’s Development and Use of Military Power: Diplomacy, Deterrence, Compellence and Counter-coercion,” 11 Januari 2016. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.4447.7524.